12 Paket Kebijakan Ekonomi, Pelayanan Satu Pintu tapi Banyak Meja yang Harus Dilayani

Loading

images.jpgaaaaaaaaaaaaaaaa

Oleh: Fauzi Aziz

 

PEMERINTAH melalui Inpres nomor 12 tahun 2016, “Satgas Percepatan dan Efektifitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi” telah dibentuk dan diketuai Menko Perekonomian. Ada empat pokja yang dibentuk, yaitu:1) Pokja-I membidangi kampanye dan diseminasi kebijakan diketuai Menteri Perdagangan. 2) Pokja-II membidangi percepatan dan penuntasan regulasi, diketuai Kepala Staf Kepresidenan.3) Pokja-III membidangi evaluasi dan analisis dampak, diketuai Deputi Gubernur Senior BI. 4) Pokja-IV membidangi penanganan dan penyelesaian kasus, diketuai Menteri Hukum dan HAM.

Ada beberapa catatan yang dapat digaris bawahi dari pembentukan Satgas tersebut. Pertama dari nama satgasnya ada dua kata kunci yakni “Percepatan” dan “Efektifitas”. Percepatan berarti dari 12 paket kebijakan ekonomi masih terdapat sejumlah regulasi yang belum final.

Kelambatan ini terjadi akibat pendekatan yang dilakukan adalah pemerintah mengumumkan terlebih dahulu substansi mengenai esensi kebijakannya sendiri.

Produk regulasinya belum ada sama sekali. Sudah dapat diduga, prosesnya terlambat karena faktor harmonisasi dan sinkronisasi atas substansi kebijakan. Upaya ini memakan waktu akibat hampir semua aturan yang akan diperbaiki, sumber utamanya adalah Undang-undang.

“Efektifitas” juga mengundang pertanyaan karena dampak dari produk kebijakan tidak ada yang bersifat instan. Pada umumnya setelah setahun berjalan, dampak dan efektifitas, baru dapat diketahui.

Pokja yang akan menangani bidang eveluasi, menurut hemat penulis perlu tajam melihatnya dari beberapa aspek, baik aspek input, proses, output dan outcome untuk masing-masing kebijakan dari 12 paket yang sudah diumumkan.

Sebagai bahan pembelajaran, evaluasinya jangan “dimanipulasi” seperti selama ini sering dilakukan karena dari setiap ada evaluasi, hasilnya bisa positip, bisa pula negatif. Bisa implementatif, bisa pula tidak. Kemudian, kampanye dan diseminasi koq baru dimulai sekarang. Terjadi time lag yang panjang antara waktu pengumuman dan waktu kampanye serta diseminasi.

Kenapa terlambat? Hal ini bisa terjadi karena aturan yang akan disosialisasikan belum siap. Penyebab lain, boleh jadi karena  perencanaan penyusunan kebijakan ekonomi tidak dipersiapkan dengan matang.

Kita sebagai publik sudah melihat betapa cepatnya pemerintah dalam tempo singkat menyelesaikan 12 paket kebijakan ekonomi yang di setiap paket terdiri dari sekian banyak aturan. Secara ideal semestinya setiap produk kebijakan sebelumnya harus dibuat analisis kebijakan.

Sementara itu, kesan yang muncul adalah semangat “kejar tayang”, seperti progam sinetron live streaming. Maaf catatan semacam ini terpaksa harus dilakukan karena di Republik ini seperti kata presiden terdapat puluhan ribu regulasi, sehingga Indonesia dikenal sebagai negeri yang sangat produktif memproduksi aturan.

Kemudian yang menarik adalah arahan Wapres JK agar Satgas bekerja optimal. Usahakan jangan sampai terjadi misalnya, menyederhanakan peraturan dengan terlalu banyak aturan.

Arahan Wapres ini perlu digaris bawahi karena kalau dicermati di dalam 12 paket kebijakan ekonomi, melahirkan dua kelompok besar dalam klasifikasinya, yakni:1) Peraturan itu baru dibuat karena sebagai bentuk pelaksanaan produk UU yang baru. Kekhawatiran Wapres bisa berpotensi terjadi di kelompok ini.

Pokja evaluasi harus bisa melihat banyak hal di ranah ini. 2) Peraturan perundangan lama yang akan dideregulasi. Inipun harus dilihat hasilnya, karena potensi terjadinya menyederhanakan aturan dengan menghasilkan banyak peraturan masih bisa terjadi dalam prosesnya karena mindset birokrasi selama ini belum banyak berubah, termasuk jika kewenangannya harus dipreteli.

Dari berbagai ulasan singkat, penulis berharap agar hasil evaluasi dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel karena dari 4 Pokja yang hasilnya paling ditunggu banyak pihak adalah hasil kerja dari pokja evaluasi dan analisis dampak kebijakan.

Sementara itu, penulis menduga dari 12 paket kebijakan yang sudah diumumkan pemerintah yang bentuknya menjadi regulasi baru dan berpotensi tidak terbaca konten dan konteksnya sebagai bentuk deregulasi, jumlahnya tetap jauh lebih banyak dari yang isinya benar-benar deregulatif.

Artinya, pemerintah terjebak pada siklus bolak-balik, yakni deregulasi yang melahirkan regulasi baru yang konten relaksasinya tidak nampak. Ke depan, pemerintah harus mengambil sikap yang secara konstruktif bisa membagi tiga wilayah kebijakan ekonomi, yakni.1) Dengan alasan apapun tetap perlu ada regulasi karena alasan keamanan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan.

Ini terkait misalnya dengan regulasi SNI.2) Tetap perlu ada regulasi, tetapi isinya benar-benar mengandung semangat deregulasi, yakni sederhana, proses bisnisnya terukur dan bebas dari tumpang tindih.

Jangan lagi terjadi pelayanan satu pintu, tetapi tetap banyak meja yang harus didatangi. 3) Yang berdasarkan hasil kajian memang tidak perlu ada pengaturannya. Ini banyak terjadi di daerah. Aturan diada-adakan hanya sekedar agar masyarakat berurusan dengan mereka.

Dan segera pemerintah perlu melaksanakan Reformasi Birokrasi karena setelah otonomi  daerah, ternyata struktur kelembagaan di daerahnya sangat gemuk dan di pusatnya juga tetap tambun.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS