Ada Dalang di Belakang Layar

Loading

warga-hin

Oleh: Fauzi Aziz

 

INDONESIA sedang bergejolak. Sibuk menghadapi permainan duniawi yang bisa membuat bangsa ini tersesat karena terlibat permainan duniawi yang terprovakasi oleh dinamika politik yang amburadul.

Indonesia menghadapi gap karena terjebak oleh efoporia politik yang sebentar-sebentar sodok menyodok dan pada kondisi berbeda bisa menyatu secara artifisial mengamankan posisi di singgasana politik/kekuasaan.

Bentuk gapnya adalah rakyat “ditinggalkan sendiri” berdemokrasi setelah pilpres/pilkada usai. Sementara itu, elit politik secara oligarkis memainkan permainan duniawinya sesuai dengan selera dan nafsu politiknya masing-masing.

Rakyat dibiarkan berkreasi sendiri berceloteh di media sosial dengan caranya sendiri. Interaksi sosial menjadi liar dan cenderung melanggar azas kepatutan. Prosesnya makin inten dan tak terkendali. Muncul kekuatan para admin yang misinya lebih banyak melemparkan bola liar dan kadang panas.

Para admin bekerja untuk siapa tidak pernah jelas. Demokrasi di Indonesia menjadi bola liar dan panas, tetapi para elit politik negeri ini meresponnya enteng saja, itulah demokrasi.

Ada isu sara yang dicoba dikapitalisasi dan sejumlah isu lain di ekonomi, misalnya rush money. Secara intuitif, para elit politik menjadi terkesan gagap dan kemudian secara tiba-tiba mencoba melakukan “konsolidasi”.

Secara intuitif juga bisa dirasakan bahwa pro praktek demokrasi di Indonesia seperti sedang menjadi permainan duniawi yang isunya macam-macam.

Presiden sebagai kepala negara dan sebagai panglima tertinggi TNI dan Polri bergegas menyambangi barak TNI/Polri di pasukan elitnya membuat deklarasi kemanan dan ketertiban.

Kemudian menemui pimpinan ormas Islam di mana-mana seperti memohon dukungan untuk ikut menyelamatkan negeri ini yang kehidupan demokrasinya compang-camping.

Pernyataan super damai dikapatalisasi besar-besaran karena kalau dibaca di balik itu, secara intuitif  bisa difahami bahwa kehidupan demokrasi di negeri ini sedang sakit akibat tidak terawat.

Di atas bermain transaksi politik, di bawah terjadi banyak konflik dan di tengah asyik menikmati kehidupan yang konsumtif dan hedonis. Inilah permainan duniawi yang berlangsung di tanah air dewasa ini. Kondisi semacam ini bisa dikatakan sangat rawan, rentan dalam kehidupan demokrasi yang masih mentah.

Bisa dikatakan, Indonesia harus meswapadai apakah fenomena ini adalah proses yang alamiah atau jangan-jangan by design untuk memecah Indonesia yang eksistensinya besar dan kaya. Sejarah dunia sudah bisa membuktikan bahwa peperangan apapun bentuknya dan konflik apapun modus dan motifnya, akhirnya dapat disimpulkan muaranya adalah soal urusan duniawi.

Saling berebut pengaruh, saling ingin menguasai, saling ingin paling adi daya, sehingga disana-sini peperangan dengan senjata modern dan perang proxi terus berlangsung. Jangan lupa, Indonesia juga berada dalam pusaran itu dan bila bangsa salah berfikir dan bertindak, demokrasi di Indonesia akan hancur.

Waspadalah bahwa jangan sampai bangsa ini seperti permainan wayang golek. Ada dalang yang bermain di belakang layar memutar lakon Indonesia. Si dalang sedang melakukan test the water dan dinamikanya secara intuitif bisa dirasakan.

Kita tidak bisa lagi mundur karena sudah ikut berproses dalam arus demokrasi. Pilihannya adalah liberal atau demokrasi Pancasila. Jika pilihannya bulat, yakni demokrasi Pancasila, maka demokrasi liberal harus kita tinggalkan dan kita buang jauh-jauh.

Kita harus sepakat mempertahankan Indonesia sebagai NKRI bukan sebagai negara federasi atau bahkan dipecah-pecah seperti Uni Sovyet. Indonesia juga secara bulat telah memutuskan komunisme dilarang di negeri ini.

Semua berpulang pada kita. Sadarlah bangsa Indonesia sedang menghadapi tekanan berat, baik dari dalam maupun dari luar untuk mempengaruhi jalan pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dengan usaha yang gigih untuk mengusai sumber daya nasional.

Upaya penggembosan Indonesia yang bersatu akan terus berjalan dan siapa aktornya tidak perlu repot-repot kita cari karena yang terpenting kita tidak mudah terprovokasi.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS