Akan Saya Kawal dan Awasi dengan Cara Saya Sendiri

Loading

images.jpgggggggggggg

Oleh: Fauzi Aziz

 

KALIMAT sebagai judul tulisan ini adalah ucapan Presiden Jokowi saat pidato pada Pencanangan Progam Pengampunan Pajak di Ditjen Pajak, Jumat,1 Juli 2016. Ucapan ini sangat bisa dimaklumi karena presiden tidak mau progam ini gagal karena menyangkut kredibilitas, baik bagi pemerintah maupun pada dirinya sebagai kepala pemerintahan/kepala negara.

Kita memahami kondisinya. Dari segi waktu, progam ini hanya berlaku sekitar 8 bulan dan akan berakhir Maret 2017. Targetnya adalah pajak hasil pengampunan akan masuk sekitar Rp 165 triliun dan perkiraan repatriasi yang akan masuk sekitar Rp 1.000 triliun dengan asumsi sekitar Rp 3.500-Rp 4.000 triliun nilai aset yang dideklarasikan.

Hasil akhirnya hanya akan terjadi pada dua hal yakni sepenuhnya berhasil atau sepenuhnya tidak mencapai target. Luar biasa, presiden sampai berkata seperti “menjaminkan” dirinya untuk mengawal dan mengawasi pelaksana progam tersebut dengan caranya sendiri.

Pengawalan dan pengawasan tersebut bisa dianggap sebagai extra ordinary control. Bisa pula menjadi cermin “ketidakpercayaan” presiden kepada para pembantunya, termasuk sistem pengawasan yang selama ini bekerja baik, pengawasan intern pemerintah maupun pengawasan external.

Taruhannya memang berat, sebab kalau sampai tidak berhasil, APBN 2017 akan bliding karena bisa menyebabkan defisitnya membengkak melampaui angka 3% sebagai batas atas defisit yang dianggap managable dari nilai PDB.

Perlu digaris bawahi bahwa dengan cara saya sendiri akan mengawal pelaksanaan progam pengampunan pajak dapat dibaca dalam dua perspektif. Yakni beliau akan membuat sistem sendiri, atau tanpa membangun sistem sama sekali.

Jika alternatif perta ma yang dilakukan, maka upayanya masih bisa dianggap baik. Namun jika cara  kedua yang ditempuh, maka presiden berarti akan “melaksanakan operasi senyap”, dimana yang tahu hanya presiden dan Tuhan.

Kalau kita mencermati APBN dalam perspektif mikro tak ubahnya kita seperti membaca neraca dan laporan arus kas. Kalau tiap tahun, yang dikelola adalah defisit anggaran, maka dapat dikatakan pemerintah dan DPR hanya berfikir soal belanja sebagai faktor yang harus bisa disediakan apapun kondisi keuangan yang dihadapi.

Kalau ada pemotongan, sebagai publik tidak yakin apakah pemotongan yang dilakukan benar-benar didasarkan atas asumsi-asumsi bahwa di setiap progam diketemukan banyak kegiatan yang bersifat business as usual. Buktinya setelah dipangkas harusnya angka defisitnya bisa kurang dari 2% terhadap PDB atau bahkan tidak ada defisit sama sekali.

Faktanya setelah dipangkas, defisit anggarannya tetap tinggi,yakni berada pada sekitar 2,5-2,8% terhadap PDB. Ini artinya kebijakan fiskal yang disepakati bersama antara pemerintah dan DPR lebih mengedepankan aspek pengelolaan defisitnya sendiri ketimbang mengelola rasionalitas APBN. Pemerintah dan DPR sangat percaya diri bahwa bila angka defisitnya di bawah 3% adalah aman, prudent dan kita dininabobokkan bahwa masyarakat tak perlu khawatir.

Kalau memang mengalami “krisis likuiditas” akibat arus kasnya seret karena pemasukannya terbatas, ha rusnya tindakan rasionalisasi anggaran di setiap K/L yang harus dilakukan dengan progam pengetatan ikat pinggang. Apapun kalau terjadi defisit, alat penutupnya adalah menambah hutang.

Coba kita lihat progam pembangunan desa, dananya disediakan begitu besar, tetapi pemerintah tidak pernah menyampaikan grand design-nya di level kebijakan. Sama sekali tak terbaca platformnya, sehingga penulis memahami dana desa sebagai proyek “tabur bunga”.

Masyarakat tak perlu ikut mengawasi pelaksanaan progam pengampunan pajak, karena presiden yang akan mengawasinya sendiri dengan caranya sendiri. Semoga saja pengawasannya transparan dan akuntabel. Sebagai syarat jika ini tidak dicukupi, maka azas kepatutannya kita pertanyakan.Yang diawasi siapa dan apanya yang mau diawasi kalau presiden mau melaksanakan pengawasan internal yang dilakukan dengan cara bapak presiden sendiri.

Hati- hati pak presiden. Sebagai kepala pemerintah/kepala negara bekerja terikat dengan sistem yang sudah ditentukan dalam peraturan perundangan. Kalau dengan caranya sendiri tidak sejalan dengan peraturan perundangan kan bisa repot. Kita hormat sepenuhnya kepada bapak presiden yang dengan gigihnya memimpin Indonesia yang lingkungan politiknya tidak selalu bersahabat. Kita juga sangat memahami bahwa di republik ini banyak hal perlu dibenahi.

Sebagai publik menilai bahwa akhirnya Indonesia memang harus melakukan Reformasi kebijakan ekonomi, Reformasi kelembagaan dan Reformasi Birokrasi. Mulailah dari sekarang dengan platform yang benar, tepat dan terukur. Jangan dengan cara kagetan, grusa grusu. Atau jangan pula meniru gaya Tiongkok, yakni tidak penting kucing itu warnanya hitam atau putih atau belang-belang, yang penting kucingnya bisa menangkap tikus.

Kita menyadari saat ini semua berpacu dengan waktu dan dinamika yang tumbuh serba tidak pasti. Jika menangani dengan grusa-grusu, hasilnya pasti tidak maksimal dan boros dalam penggunaan sumber daya. Sebagai catatan akhir, dapat digarisbawahi bahwa presiden mempunyai kewenangan melaksanakan pengawasan melekat atas aparatur yang berada langsung dibawah kendalinya yakni para menteri dan kepala lembaga.

Namun jangan lupa sesederhana apapun, sistemnya pasti ada karena pemerintah adalah bagian dari sistem ketatanegaraan dan sistem administrasi negara. Progam penataan secara struktural mendesak dilakukan, namun masing-masing harus ditetapkan fokusnya.

Buka lagi RPJP dan RPJM-N. Baca satu persatu. Dalam tiga setengah tahun ke depan tetapkan fokusnya. Di luar fokus tidak disediakan anggaran kecuali belanja rutin. Standar pelaksanaan politik anggaran dalam 3 1/2 tahun yang akan datang harus berorientasi pada penekanan pelaksanaan Belanja Berkualitas.

Kebijakan ekonomi yang sudah diluncurkan dibaca lagi satu persatu. Yang kira-kira masih bersifat sangat regulated dibatalkan saja. Kita menduga yang dihasilkan selama ini adalah belum sepenuhnya menjamin adanya relaksasi dari aturan.

Kualitas kebijakan jauh lebih penting dari sekedar kuantitas kebijakan. Obyek kebijakannya harus ditegaskan dan target masing-masing kebijakan harus semakin berbasis sasaran. Jangan lagi bersifat across the board.

Di sektor pertanian fokusnya apa, begitu pula perindustrian. Fokus ini diarahkan pada kegiatan apa yang bisa dibangun dalam 3 1/2 tahun ke depan, baik yang dibiayai APBN maupun non APBN.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS