Aparat Kepolisian Tapteng Diminta Bertindak Bijaksana

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Ketua Umum Front Komunitas Indonesia Satu, Julian Manurung meminta aparat Kepolisaian Tapanuli Tengah (Tapteng), betul-betul bijaksana dalam menangani kasus perseteruan antara keturunan Datu Nal-Nal Pasaribu dengan sekelompok masyarakat Nias yang terjadi baru-baru ini yang telah melakukan penghinaan terhadap makam nenek moyang mereka di si Manosor Dolok di Dusun VI Sitabo-tabo, Kecamatan Sibabangun, Tapteng.

Dijelaskan, setelah mulai perseteruan dan menjaga hal-hal yang tidak dinginkan, kedua belah pihak telah sepakat untuk tidak melakukan aktivitas atau menempati daerah tersebut. Namun kelompok Masyarakat Nias telah melanggar kesepakatan tersebut dengan membanguan tempat tinggal serta memelihara hewan ternak yang menghina makam nenek moyang mereka yang sejak dulu sudah Islam.

Dan yang lebih parahnya lagi menurut Julian, ketika keturunan Datu Nal-Nal ziarah ke makam nenek moyangnya, masyarakat Nias selalu mengganggu dan mengintimidasi. Hal inilah dikatakan yang membuat masyarakat keturunan Datu Nal-Nal Pasaribu emosi dengan merusak gubuk yang merupakan sarana pemeliharaan babi. “Makam itu kan sangat sakral dan belum ada negara ini, makam itu sudah ada, kenapa mereka memelihara babi dan melanggar kesepakatan itu,” katanya di Jakarta, Senin (18/6) pekan lalu.

Dijelaskan, akibat pembakaran gubuk tersebut, pihak polisi telah menahan sepuluh orang keturunan Datu Nal-Nal. “Tapi yang lebih memprihatinkan, sekitar 30 lelaki muda keturnan Datu Nal-Nal terpaksa lari dan meninggalkan kampung halamannya karena diintimidasi termasuk oleh aparat. “Nah inilah yang tidak kami inginkan. Sebab mereka sudah pada sepakat akan pulang kampung dan melakukan perlawanan,’’ jelas Julian Manurung, kerabat dekat marga Pasaribu tersebut.

Untuk itu dikatakan, supaya aparat betul-betul bijaksana dan jangan berpihak dalam mengatasi perseteruan tersebut. Sebab-akibatnya sudah pasti mengandung unsur suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). “Kalau ini sudah terjadi, bukan hanya sulit untuk meredam, tetapi lebih berbahaya lagi akan terjadi konflik seperti di daerah Poso atau lainnya di Indonesia,” katanya.

Dijelaskan, setelah kejadian tersebut, pihaknya sudah melakukan yang terbaik. Tetapi karena aparat kelihatannya tidak bijaksana, akhirnya mereka telah mengadukan masalah ini ke Kapoldasu dan Kapolri. Sebab menurut Julian, aparat kepolisian Tapteng, tidak bekerja dengan baik sesuai dengan tugasnya.

Ini dilakukan untuk menjaga terjadinya konflik berkepanjangan apalagi sampai terjadi konflik yang bersifat keagamaan. Masalahnya bukan hanya merusak tatanan bermasyarakat di Tapteng, tetapi bisa saja masalahnya berkepanjangan seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. “Untuk itu, saya minta Kapolres betul-betul memahami konflik tersebut dan menyelesaikannya secara benar dengan memahami masyarakatnya,” kata Julian.

Sesuai dengan data dan fakta sejarah, Op Raja Datu Nal-Nal Pasaribu sudah membuka perkampungan di daerah tersebut bersama dengan masyarakat Batak lainnya sekitar tahun 1650-an dan mendirikan Kerajaan Simanosor Dolok. Pada tahun 1720, Op Raja Datu Nal-Nal Pasaribu merupakan raja di wilayah tersebut dan dimakamkan di Tor Salehan Simanosor Dolok. “Makam ini termasuk sakral dan selalu dipelihara dengan baik oleh keturunannya,” jelas Julian.

Namun areal pemakaman tersebut kini sudah banyak ditanami pohon karet oleh masyarakat Nias. Dalam hal ini dikatakan, antara pihak masyarakat Nias yang diwakili Tolona Ndruru bersama keturunan Datu Nal-Nal Pasaribu sepakat melakukan yang terbaik, yaitu dengan memberikan ganti rugi kepada pihak masyarakat Nias dan wilayah tersebut adalah hak keturunan Datu Nal-Nal Pasaribu. (aru/apul)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS