Belanja yang Berkualitas

Loading

apbn

Oleh: Fauzi Aziz

APBN setiap tahun jumlahnya makin besar. Kini mencapai sekitar Rp 2.000 triliun. Dari segi penggunaan seperti yang berlaku di perusahaan, pada dasarnya mengandung dua pos belanja, yakni belanja rutin yang berfungsi sebagai “modal kerja” dan sifatnya habis pakai dan belanja pembangunan/belanja publik dan sifatnya investasi, yang bisa disebut sebagai belanja investasi atau capital expenditure (capex).

Belanja investasi ini yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Harapannya adalah anggaran belanja investasi yang terserap dan terkonversi menjadi pembangunan akan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Saat ini APBN sudah membesar, tetapi banyak pihak masih memberikan catatan, yakni masih ada “keterbatasan”  menciptakan belanja yang berkualitas.

Restrukturisasi dan rasionalisasi APBN menjadi penting agar kebijakan APBN berbasis kinerja benar-benar berjalan menuju belanja yang berkualitas. Investasi pemerintah di sektor infrastruktur sudah mulai berjalan dan hasilnya secara bertahap sudah kelihatan. Mudah-mudah kualitas pekerjaannya terjaga dan bisa dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis.

Harapan ini tidak berlebihan karena publik masih ragu karena pelaksanaan proyeknya diduga mengandung unsur KKN. Mengutip pandangan teoritis seperti banyak disampaikan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), per difinisi belanja berkualitas adalah belanja publik yang memenuhi kriteria antara lain:1.Clear link between financial and per formance indicators.2.Focus on outcome instead of output.

Kriteria pertama dipakai untuk mengukur public sector cost effectiveness. Sedangkan kriteria kedua dipakai untuk mengukur nilai guna atau manfaat yang dihasilkan dari belanja publik (value of money). Definisi ini cukup jelas. Artinya jika tidak memenuhi kriteria tersebut, maka belanja negara yang tidak berkualitas atau hanya bersifat business as usual harus dikurangi atau dihapuskan.

Langkah ini semestinya dilakukan dimasing-masing K/L karena sebagai pengguna anggaran,K/L paling mengetahui kebutuhan belanja investasi yang diperlukan. Caranya, menteri sebagai Chief Operational Officer(COO) harus membuat kebijakan tertulis tentang anggaran di K/L nya masing-masing sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Artinya di tingkat K/L penyusunan anggaran bersifat “top-down“. Tidak seperti ini selama ini, penyusunan anggaran bersifat “bottom-up” yang umumnya disusun oleh staf, eselon 4 dan eselon 3. Eselon di atasnya cenderung terima beres. Tradisi ini harus diubah dan gideline unsur pimpinan teras sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan anggaran di K/Lnya masing-masing menjadi penting dalam rangka mengarahkan terpenuhinya syarat pengeluaran belanja yang berkualitas.

Selain itu harus dimulai tradisi baru, yakni jika pada tahun anggaran tidak ada rencana melakukan investasi pemerintah, sebaiknya tidak mengajukan rencana anggaran untuk keperluan belanja investasi. Sistemnya sebenarnya sudah ada, hanya saja implementasi tidak tersupervisi dengan baik oleh para COO-nya dimasing-masing K/L atau para Kuasa Pengguna Anggaran yang umumnya dijabat eselon 1.

Selama belanja berkualitas tidak efektif berjalan, maka menjadi sulit untuk membicarakan masalah pelebaran “ruang fiskal (fiscal space). Sulit mengharapkan belanja berkualitas akan terwujud, jika sinergi dan koordinasi progam dan anggaran tidak pernah terjadi, baik di tingkat perencanaan maupun saat pelaksanaan, baik di pusat maupun di daerah.

Defisit anggaran akan tetap cenderung melebar bila belanja berkualitas tidak pernah diupayakan karena pemerintah tidak berhasil mengatasi masalah “political appointy” yang selama ini berjalan karena peran DPR dalam menjalankan fungsi anggaran perannya powerfull. Bila pemerintah sungguh-sungguh menjalankan politik anggaran menuju belanja yang berkualitas tidak ada cara lain yang dapat dilakukan, kecuali perlu ketegasan dari para COO di tiap K/L dalam menetapkan kebijakan anggaran.

Kalau tidak berhasil, maka volume anggaran yang tiap tahun bertambah besar, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi akan tidak optimal akibat boros diinput dan lemah dioutputnya. Karena defisit anggaran selama ini ditutup dengan hutang, maka kegagalan menerapkan belanja berkualitas akan menjadi ancaman membengkaknya ratio hutang terhadap PDB, yang kini angkanya sudah mencapai sekitar 36% dari PDB ekonomi. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS