Berkorban

Loading

Oleh: Dwija

Ilustrasi

Ilustrasi

SEORANG musafir naik gunung Himalaya. Dia datang dari India, hendak pergi ke Tibet untuk berziarah. Jalan makin mendaki, udara makin dingin, badan makin lemah. Kaki seolah-olah menolak diajak untuk berjalan. Dia duduk, dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan dirinya: ia akan mengantuk karena dingin dan kemudian tertidur untuk tidak bangun lagi selama-lamanya. Dia akan tewas, tertimbun salju, kecuali jika ada mujizat Ilahi.

Apakah yang tampak bergerak dari Selatan itu? Itulah mungkin pertolongan Ilahi. Sesosok tubuh manusia kelihatan makin mendekat, dan setelah sampai di hadapannya, si musafir pertama segera minta pertolongan. “Saya tidak dapat berjalan lagi. Tolonglah jiwaku, sahabat ” pintanya. Yang ditegur berhenti. Dengan harapan besar musafir pertama menunggu jawaban. Apa yang didengarnya ? “Sayang, saya tidak dapat menolongmu” jawabnya.

Saya sendiri juga sudah lelah, dan keadaanku pun hampir menyerupai nasib saudara, sedang arak di dalam botol untuk memanaskan badan saya pun tinggal beberapa teguk saja.” Tanpa memberi pertolongan sedikit pun musafir kedua berlalu. Habislah harapan musafir pertama itu untuk hidup. Ia tidak dapat menyalahkan musafir kedua itu. Sebab, memang demikianlah halnya.

Setelah beberapa lama kemudian muncul musafir ketiga yang berjalan ke arah yang sama. Musafir pertama insaf, orang itu pun tidak mungkin memberi pertolongan kepadanya. Dengan putus asa dia menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Tetapi apakah yang terjadi ?

Musafir ketiga menghentikan langkah perjalanannya. Dia mengeluarkan botol yang berisi arak beberapa teguk dan memberikan sebagian kepada musafir pertama yang malang itu. Di luar dugaan dia mengangkatnya dan menggendongnya. Dengan beban yang berat itu perjalanan dilanjutkan. Beberapa kilometer kemudian keduanya melihat mayat terlentang di tepi jalan. Mayat itu, mayat musafir kedua. Ia mati kedinginan, sedang musafir kedua dan ketiga tetap selamat.

Dengan beban yang berat itu musafir ketiga harus mengeluarkan tenaga banyak, tetapi dengan demikian badannya tetap panas. Hal itu juga yang memanasi tubuh yang didukungnya, yaitu musafir pertama. Pengorbanan musafir ketiga menyelamatkan musafir pertama, ternyata juga menyelamatkan dirinya.

Kita semua laksana musafir. Kita semua bergerak hendak mencapai cita-cita. Sebagai bangsa kita semua ingin agar seluruh rakyat hidup makmur dan sejahtera. Sebagai pribadi kita juga mengejar cita-cita. Dalam menuju keperwujudan cita-cita itu, perjalanan kita laksana mendaki, walaupun tidak setinggi gunung Himalaya. Banyak hal-hal yang bersifat menghambat: perumahan yang tidak memenuhi syarat, tempat tinggal yang jauh, penerangan yang suram, perut yang lapar, dan masih seribu satu macam kesukaran yang kita hadapi. Setiap pribadi memiliki kesukaran sendiri-sendiri.

Kita semua laksana musafir, entah seperti musafir pertama yang sangat membutuhkan pertolongan, entah seperti musafir kedua yang karena dalam kesukarannya tidak sanggup menolong orang lain, ataukah seperti musafir ketiga, walaupun berat penderitaan yang dialaminya tetapi masih sanggup berkorban bagi keselamatan orang lain.

Lebih-lebih dalam masa yang sukar ini, keselamatan kita hanya dapat dipertahankan dengan kesediaan berkorban untuk orang lain. Bukankah hal itu disebut “Perbuatan Utama”. Pengorbanan yang harus kita berikan kadang-kadang hanya remeh-remeh saja seperti meminjamkan buku, sekedar uang, sekedar tenaga, sekedar perhatian. Tetapi itu saja kita kadang-kadang sudah merasa enggan memberikannya. Ya, bahkan kita kadang-kadang merasa bahagia dengan kemalangan orang lain, menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain.

Oleh karena itu, jika tiba saatnya seorang teman atau orang lain membutuhkan pertolongan dari kita, sebaiknya kita ingat pada cerita tentang musafir di atas. Menolong orang lain menyelamatkan diri sendiri. Apa yang kita tanam, akan kita petik hasilnya.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS