Dibutuhan Bank yang Berperan Sebagai Sumber Stimulus Pertumbuhan Ekonomi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

SEJAK dilikuidasinya Bapindo pada tahun 1998 akibat kebijakan pemerintah yang merestrukturisasi sistem perbankan nasional, Indonesia praktis tidak lagi memiliki bank pembangunan yang membiayai investasi berjangka panjang. Yang kita miliki sekarang hanyalah bank-bank komersial dan ritel banking yang kurang memiliki komitmen untuk mendukung pendanaan jangka panjang.

Begitu pula yang dialami Bank-bank Pembangunan Daerah yang misi utamanya juga mengalami alih fungsi sebagai bank komersial dan ritel banking. Hadirnya lembaga pembiayaan yang secara khusus dapat membiayai proyek-proyek pembangunan jangka panjang sangat diperlukan, terutama untuk mendorong bangkitnya kembali sektor riil di dalam negeri, baik sektor industri, pertanian dan pertambangan.

Sebelum krisis 1998, sektor industri selalu tumbuh dua digit dan selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi. Sesudah krisis 1998, untuk kembali mencapai kinerjanya seperti sebelum krisis tersebut agak berat proses recoverynya. Tahun 2011 yang lalu sektor industri manufaktur mampu tumbuh 6,8% di atas laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5%.

Percepatan pembangunan industri di dalam negeri mutlak dilakukan dan dari segi pendanaan terutama karena sifat investasinya berjangka panjang, sistem pembiayaan komersial yang ada sekarang tidak serta merta dapat memberikan dukungan yang maksimal untuk pembiayaannya.

Industri perkapalan, alutsista, dirgantara, petrokimia hulu/antara/hilir, sulit dibangun tanpa ada dukungan pembiayaan khusus berdurasi jangka panjang dengan suku bunga yang kompetitif. Industri-industri semacam itu return on invesment-nya panjang, yield-nya rendah dan beresiko tinggi.

Akibatnya, banyak industri yang bersifat strategis bagi pembangunan ketahanan ekonomi bangsa dan pendalaman struktur industri serta untuk mengurangi ketergantungan impor, tidak mudah mendapatkan sumber pendanaan.

Bukti empiris memberikan suatu gambaran bahwa pada tahun 2010 lalu, berdasarkan data Bank Indonesia kredit perbankan yang disalurkan ke sektor tradable (industri pengolahan,pertanian dan pertambangan) hanya 24,22%. Sementara yang tersalur ke sektor non tradable mencapai 75,78%.

Pada tahun 2000, posisinya masih baik, dimana kredit yang mengalir ke sektor tradable masih tinggi, yaitu sekitar 47,96%. Dampaknya adalah pertumbuhan sektor tradable hanya sekitar 3-4%/tahun, sementara pertumbuhan sektor non tradable mampu tumbuh antara 7-8%/tahun.

Hasil diskusi para ahli yang diselenggarakan 21 Juni 2012, merekomendasikan bahwa untuk mendorong bangkitnya kembali sektor riil, perlu dipertimbangkan adanya dukungan pendanaan melalui skim pembiayaan investasi jangka panjang.

Dapat ditambahkan bahwa likuidasi Bapindo kala itu adalah bukan merupakan kehendak murni pemerintah Indonesia, tetapi karena kehendak IMF yang pada saat itu merekomendasikan agar dilakukan deregulasi di sektor perbankan yang berlindung dalam paket progam struktural ajusment untuk menyehatkan perekonomian nasional akibat terhempas krisis tahun 1998.

Kalau saat ini muncul pemikiran dan pandangan para ahli agar pemerintah perlu mempertimbangkan lahirnya kembali bank pembanguanan, cukup beralasan dan patut mendapatkan dukungan secara politis dan kebijakan.

Pada aspek pembiayaan perdagangan, pemerintah telah memiliki Lembaga Pembiayaan Ekspor(LPE) dan cukup beralasan jika pemerintah juga perlu memiliki lembaga pembiayaan yang dapat membiayai investasi jangka panjang di sektor riil/sektor tradable dan juga di sektor pembangunan infrastruktur.

Investasi di sektor riil dan sektor industri, pada khususnya sangat dibutuhkan Indonesia. Pertimbangannya adalah, investasi langsung di sektor industri berkaitan dengan pendirian pabrik baru, pengadaan teknologi baru, pembukaan lahan baru, perekrutan tenaga kerja baru yang berdampak langsung dalam penciptaan produk baru atau menambah kapasitas produksi dari investasi yang sudah ada.

Melahirkan kembali bank pembangunan, khususnya bank pembangunan infrastruktur dan industri, menjadi sangat mendesak karena kebutuhannya memang ada. Oleh karena itu, harus ada dukungan kebijakan yang bersifat politis, yaitu perlu ada inisiasi untuk menyiapkan RUU tentang pembentukan lembaga pembiayaan infrasrtuktur dan industri yang tidak mungkin dapat dibiayai dari dana APBN, atau hanya mengandalkan sumber dana bank komersial yang ada.

Apalagi bank-bank komersial yang ada sekarang menurut penilaian sebagian ahli ekonomi, dipandang bahwa lembaga perbankan di Indonesia, termasuk bank pembangunan daerah, masih sebatas sebagai perusahaan pencari untung dan belum bisa diandalkan sebagai sumber stimulus pertumbuhan ekonomi. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS