Dorong UMKM, BI Diharapkan Turunkan BI Rate

Loading

260115-umkm

 

MANADO, (tubasmedia.com) – Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra mendesak Bank Indonesia (BI) untuk segera menurunkan bunga acuan BI rate.

“Kebijakan BI untuk mempertahankan BI rate yang tinggi saat laju inflasi cenderung melemah, merupakan keputusan yang kurang bijak,” ujar dia dalam siaran persnya, di Manado, Senin (26/1/15).

Menurut dia, pada Januari 2015 ini diperkirakan akan terjadi inflasi negatif atau deflasi terkait penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga bahan makanan. Sehingga, jika BI mempertahankan BI rate pada tingkat yang tinggi saat kondisi potensi inflasi rendah, maka bilamana kemudian ke depan terjadi inflasi tinggi, BI akan kehilangan “ruang” untuk menaikkan kembali BI rate karena sudah terlampau tinggi. “Bila dipaksakan, maka bunga kredit akan semakin tinggi,” ucap Agus.

Agus menjelaskan, tingkat inflasi yang tinggi tahun lalu sesungguhnya disebabkan oleh dorongan faktor biaya (cost push inflation) karena kenaikan harga BBM subsidi. Dalam kondisi tersebut, kata dia, semestinya pemerintah melakukan kebijakan supply side untuk mendorong suplai barang di pasar.

“Bukan malah melalui kebijakan moneter BI dengan menaikkan BI rate. Ini akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Dan terbukti pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali melemah,” ucap Agus.

Ia menuturkan, BI rate menjadi acuan suku bunga simpanan dan kredit perbankan komersial. Jika BI rate dipertahankan tinggi, maka sulit bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga simpanan dan kredit. Oleh sebab itu, pengusaha tidak dapat berharap banyak untuk mendapatkan suku bunga kredit lebih murah di beberapa waktu mendatang bila BI bersikukuh mempertahankan BI rate yang tinggi.

Hal ini, lanjutnya, akan membuat peran swasta domestik, khususnya UMKM semakin tergerus oleh investor asing terutama memasuki Masyarakat Ekonomi Asean. Dan jika BI rate digunakan untuk mengerem laju pertumbuhan kredit demi menjaga loan to deposit ratio (LDR) di bawah 100 persen, maka kebijakan ini sangat parsial. Sebab, tanpa kredit yang memadai sulit bagi dunia usaha untuk berkembang.

“Seharusnya BI dan pemerintah mengatasi yang namanya Export Illusion, yaitu ekspor tinggi namun sebagian besar uangnya tidak balik ke Indonesia. Semakin besar porsi asing dalam perekonomian nasional, semakin besar Export Illusion yang terjadi,” terang Agus.

Agus mengingatkan, agar pemerintah harus berani membuat regulasi untuk menahan hasil ekspor terutama perusahaan asing di perbankan nasional untuk beberapa waktu tertentu sehingga diperoleh buffer dana dari ekspor bagi kepentingan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan nasional. Langkah ini akan memperbaiki kinerja LDR tanpa mengorbankan perekonomian nasional. (angga)

TAGS