Emil Salim : Produk Industri berjalan Tanpa Otak

Loading

Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim (Serenity/Wikimedia)

Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim (Serenity/Wikimedia)

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kritik pedas disampaikan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim. Dia menilai ada sejumlah kesalahan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Emil menyebut sektor industri berjalan tanpa otak atau minim nilai tambah. “Indonesia memang memiliki industri. Tapi produk industri berjalan tanpa otak,” ungkapnya dalam seminar nasional di Gedung Perpusatakaan, Jakarta, Rabu (22/10).

Tanpa otak yang dimaksud ekonom kawakan ini adalah hanya menjual bahan mentah, tanpa peduli untuk mendapatkan nilai tambah. Sebagai contoh, Emil menyebut logam dasar yang memiliki pertumbuhan produksi terbesar sekitar 11%. “Jangan pikir logam dasar itu hasil industri. Itu hanya mentah, tanpa nilai tambah,” katanya.

Profesor ekonomi jebolan University of California, Berkeley itu juga menuding hal yang sama terjadi pada pada tembaga. Sampai sekarang Indonesia belum memiliki industri tembaga. Selama ini produk yang diekspor masih tergolong mentah hanya dalam bentuk konsentrat. ” Sudah 40 tahun ada Freeport. Tapi kita tidak pernah ada industri tembaga,” ungkapnya.

Hal yang sama terjadi pada industri kelapa sawit. Saat harga komoditas ini melonjak, banyak yang berbondong-bondong memproduksi kelapa sawit. Sayangnya produk yang diekspor masih dalam bentuk mentah yaitu crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah. “Kalau mentah yang diekspor, itu artinya tidak ada otak dalam produksi. Cuma digali terus diekspor. Makanya saya katakan industri kita berjalan tanpa otak,” ujarnya.

Permasalahan industri lainnya ada pada komponen bahan baku yang masih bergantung pada impor yaitu industri otomotif. Mobil itu diproduksi di dalam negeri dan diekspor. Tapi bahan bakunya masih impor. Akibatnya, industri tidak bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi yang kuat. Semakin digenjot industri untuk tumbuh, maka semakin merusak fundamental ekonomi, karena tingginya angka impor bahan baku, sehingga mengganggu nilai tukar. “Industri ini yang menjadi biang keladi defisit neraca perdagangan,” katanya. (sis)

CATEGORIES
TAGS