Forum Ekonomi Dunia, Media Talking-Talking

Loading

Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi

ilustrasi

SEJAK Rabu 22 hingga Jumat 24 Januari 2014 di Davos Swiss berlangsung pertemuan dalam wadah Forum Ekonomi Dunia. Setiap awal tahun forum tersebut diselenggarakan yang biasanya dihadiri kalangan pebisnis/investor, para CEO, pejabat tinggi pemerintah sejumlah negara dan para ahli termasuk para pemerhati. Sedianya Presiden SBY akan hadir, namun dibatalkan karena lebih mengutamakan berkunjung ke tanah Karo mengunjungi korban erupsi Gunung Sinabung.

Menurut pemberitaan di berbagai media, Indonesia dihadiri Gubernur Bank Indonesia, Menkeu, Mendag, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ketua BKPM, Menlu dan beberapa dari kalangan pebisnis nasional. Hadir untuk “jualan”, kira-kira ini misi yang dibawa beliau-beliau. Kalau mau jualan, logika ekonomi dan logika pasar mengatakan apa yang akan dijual harusnya sudah dalam posisi ready for sale dan dalam posisi clear and clean.

Kalau perundingannya masih panjang dan serba belum pasti, maka kehadiran Indonesia di Forum Ekonomi Dunia tidak penting-penting amat. Forum Ekonomi Dunia boleh jadi juga bisa disebut sebagai media bertemunya para “pemburu rente” ekonomi kelas global yang ingin mengusai aset poduktif milik bangsa demi kepentingan kapitalisme global.

Hal yang demikian disampaikan karena Forum Ekonomi Dunia ini juga bisa disebut sebagai forum politik dimana banyak kepentingan yang besifat subyektif maupun obyektif tidak mustahil ikut dibacarakan. Bisa melalui forum terbuka maupun setengah kamar. Konsensi-konsensi dan kompensasi tidak mustahil juga dapat dibahas pada kesempatan tersebut,tanpa bermaksud bersikap buruk sangka atau menebar fitnah.

Apa saja bisa terjadi di forum tersebut. Forum Ekonomi Dunia bukanlah lembaga formal yang bisa mengambil keputusan yang bersifat mengikat seperti WTO,IMF atau Bank Dunia. Namun melalui forum ini banyak yang berharap proses kapitalisasi aset bisa saja tercipta karena media dapat dimanfaatkan untuk kepentingan itu.

Forum ini sejatinya hanya media talking-talking tingkat tinggi dan kalau boleh bisa disebut juga sebagai “bursa” para “pemburu rente ekonomi” karena di forum ini tidak tertutup kemungkinan tejadi deal-deal bisnis yang menggiurkan para pihak yang terlibat dalam prosesnya. Kita tidak tahu adakah kepentingan nasional yang mewakili kebutuhan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di bidang ekonomi termasuk yang dibahas dan diperjuangkan.

Tanpa berniat untuk berspekulasi, penulis ingin mengatakan forum ini tidak banyak berjuang untuk membahas kepentingan nasional. Alasannya, forum itu forum ekonomi, bisnis dan investasi murni. Lain halnya pembahasan di forum seperti WTO kehadiran petinggi negara dijamin oleh peraturan perundangan.

Di forum WTO-pun acapkali kepentingan nasional yang diperjuangkan tidak clear karena para juru rundingnya telah terperangkap dalam jalur mainstream ekonomi liberal yang doktrinnya kepentingan nasional adalah pertumbuhan ekonomi. Kalau investasi asing masuk dalam jumlah yang sangat masif dan pertumbuhan ekonominya melejit, maka kita sudah bisa mengatakan dengan bangganya bahwa kita telah berhasil menjadi salesman yang baik memasarkan apa yang menjadi kepentingan nasional.

Buktinya, investasi dan pertumbuhan ekonomi tumbuh mengesankan. Nampaknya cara berfikir pragmatis tidak hanya menjadi monopolinya para elit politik di negeri ini,tetapi juga bersemi dikalangan para pengambil kebijakan ekonomi. Mereka lupa bahwa kebijakan ekonomi yang selalu dihasilkannya tidak boleh keluar dari konstitusi ekonomi yang sudah susah payah secara politis disepekati.

Hadir di Forum Ekonomi Dunia menjadi sebuah pilihan karena di forum tersebut diharapkan dapat diperoleh dukungan pendanaan dari para CEO global dan para investor global yang mudah-mudahan tidak ada embel-embel konsensi dan kompensasi yang bersifat tangible maupun intangible bagi para pihak. ***

CATEGORIES

COMMENTS