“Golek Slamete Dewe”

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

JUDUL ini adalah kosa kata Jawa yang kira-kira dalam bahasa Indonesia bermakna “cari selamat sendiri”. Sejak negeri ini banyak didera oleh korupsi, ungkapan Jawa tersebut sering kita dengar dari mulut para elit atau pejabat yang ditersangkakan melakukan kejahatan korupsi dalam kosa kata yang beragam.

Ada yang mengatakan saya tidak tahu tapi raut wajahnya sebenarnya menunjukkan kecemasan atau kegalauan. Senyumnya hambar sambil mikir mencari rangkaian kalimat pamungkas untuk menjawab pertanyaan para penyidik atau wartawan ketika selesai diperiksa. Intinya tersangka atau yang sedang diindikasikan terlibat kasus KKN ingin berkelit, golek slamete dewe.

Padahal seperti sudah sering dibuka di berbagai media, hampir tidak ada kasus korupsi terjadi bediri sendiri/hanya dilakukan seorang diri, tanpa ada unsur-unsur lain yang terlibat. Korupsi yang terjadi dalam rangka penyelewengan penggunaan anggaran negara terjadi secara by design.

Artinya dilakukan sejak perencanaan anggaran dibuat hingga anggaran digunakan bahkan sampai saat pengawasan dilaksanakan dan melibatkan banyak pihak.

Dalam kasus korupsi apa saja, nuansa golek slamete dewe sangat terasa. Saling menutupi kroni dan keluarganya dengan sangat vulgar dipertontonkan di depan umum. Padahal sejatinya dia sedang bekerja keras melawan kebohongan yang dibangunnya sendiri sambil golek slamet. Perilaku semacam ini meskipun bisa dianggap wajar dilakukan oleh siapa saja, namun sikap ini sebagai salah satu bentuk sikap pengecut. Mau berbuat tapi tidak mau bertanggung jawab.

Dalam UU nomor 17/2003 tentang keuangan negara tugas menteri/pimpinan lembaga sebagai PA ada 8 tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga kalau ada penyimpangan, meskipun yang melakukan bawahannya, maka selaku PA semestinya ikut bertanggungjawab karena bisa dianggap lalai melakukan pengawasan yang bersifat melekat atas kebijakan pengelolaan keuangan negara yang ditetapkannya.

Tidak ada alasan tidak tahu dan dengan entengnya menyatakan bahwa hal yang dilakukan anak buahnya sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Karena itu, betapa pentingnya ketika siapapun dipercaya menjadi pejabat publik dapat memahami hukum-hukum publik yang berlaku di negeri ini. Tidak bisa dikanalisasi senaknya sendiri berdasarkan tahu sama tahu atau asal bapak senang tanpa ada dasar hukum yang membolehkannya.

Golek slamete dewe iku ora elok. Menjadi pemimpin harus bertanggungjawab. Salah benar harus mempertanggung jawabkannya tugas kepemimpinannya di hadapan publiknya apalagi kepada Tuhannya. Ojo golek slamete dewe ketika negeri ini sedang didera wabah korupsi yang sangat luar biasa. Jangan mudah berucap dengan ungkapan yang bisa mendera lingkungannya sendiri.

Kondisi semacam ini bak sebuah skenario sandiwara yang dirancang untuk memenangkan kepentingannya sendiri, kroni dan keluargannya. Nakhoda kapal saja kalau kapalnya mau tenggelam tidak boleh menyelematkan diri sebelum bisa menyelamatkan seluruh penumpangnya. Negeri ini perlu ratu adil atau panguwasa sejati untuk menyelamatkan negeri ini dari segala macam tindakan yang bisa menghancurkan proses pembangunan bangsa yang berkarakter, bermartabat dan berrperadaban.

Kita butuh pemimpin yang bukan hanya cerdas tetapi juga memerlukan pemimpin yang berkarakter yang bersikap tanuhita (mengayomi) rakyat. Kita tidak menghendaki dipimpin oleh sosok seorang pemimpin yang kalau negeri ini didera wabah penyakit atau negerinya mau tenggelam dan bangkrut akibat korupsinya sudah mewabah, dia dengan lantang mengatakan bahwa saya tidak ikut berrtanggung jawab alias mau golek slamete dewe, dumeh sedang berkuasa. Kalau sudah tidak berkuasa, opo isih biso slamet? Hanya rumput bergoyang yang tahu. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS