Hak – Ku : Derita – Ku

Loading

Oleh: SM. Darmastuti

ilustrasi

ilustrasi

SEORANG teman yang lagi mengambil program doktor di Fakultas Psikologi UGM, meminta saya memberikan pembekalan pelayanan pada para respondennya (para perawat) di sebuah rumah sakit besar di Solo. Teman tadi mengambil tema filosofi Jawa sebagai bekal efektif pelayanan bagi pasien paliatif kanker serviks.

Dia membuat materi pelatihan untuk para perawat dengan judul TRISNA, atau yang berarti Love / Cinta, yang sebenarnya singkatan dari Temen, Rila, Sabar, Narima. Saya diberi tugas memberi penerangan pada para perawat bahwa sebenarnya empat sila tersebut menjadi jembatan manusia untuk memiliki watak Budi Luhur. Para peserta merespons positif. Mereka merasa mendapatkan banyak hal, bahkan ada beberapa diantara mereka yang merasa selama ini belum melaksanakan tugasnya dengan Rila dan Sabar.

Ada juga yang dengan jujur berceritera bagaimana hatinya belum Narima dan pernah memberontak karena oleh manajemen dia selalu diberi tugas berat di bangsal yang mayoritas pasiennya adalah kaum marjinal dan ‘gratisan.’ Namun, ketika dia suatu saat dipindah ke kamar VIP, dia malah terkaget-kaget. Akhirnya dia minta dikembalikan ke bangsal semula, meskipun dia harus melayani pasien jauh lebih banyak. Apa yang terjadi sebenarnya?

Di Diklat rumah sakit itu menyatakan bahwa mayoritas pasien-pasien yang menyebalkan ternyata pasien dari kamar yang mahal. Sementara pasien-pasien dari kalangan marginal yang ‘gratis’ adalah pasien-pasien yang manis, tidak banyak menuntut, dan dapat menerima keadaannya dengan ‘legawa.’ Kami lalu mencoba berdiskusi dan menyimpulkan kenyataan itu.

Ada dua kemungkinan mengapa pasien ‘gratis’ lebih mudah diatur dan tidak banyak mengeluh. Pertama, kebanyakan mereka adalah orang yang terbiasa dengan kesengsaraan, terbiasa untuk melayani diri sendiri atau bahkan terbiasa melayani orang lain. Kedua, bisa jadi karena mereka menyadari dan tau diri bahwa mereka tidak seharusnya menuntut macam-macam karena mereka pasien gratis.

Apa pun alasannya, mereka banyak membantu para perawat karena tidak merepotkan dengan permintaan ini-itu. Mereka hanya dapat menangis ketika kesakitan dan nyeri menyerang, tetapi tidak offensive ketika perawat mencoba memberi pengarahan.

Sebaliknya, pasien pada kamar-kamar mahal, biasanya rewelnya. Mereka sadar akan haknya, dan menuntut apa yang menjadi bagiannya. Mayoritas pasien di kelas ini sangat kritis atas pelayanan yang diterima, termasuk sangat kritis pada kebersihan kamar yang mereka rasa sudah mereka bayar mahal. Layaknya tinggal di hotel, mereka meminta pelayanan seperti yang mereka inginkan, dan mengira bahwa dengan membayar mahal mereka akan terhindar dari rasa nyeri dan memperoleh kebahagiaan di rumah sakit.

Diskusi kemudian kami lanjutkan, dan saya memberi analogi: orang yang terbiasa tidak merokok akan ‘biasa-biasa saja’ melihat papan pengumuman ‘Dilarang Merokok.’ Tetapi para perokok berat tentu akan merasa kebebasannya dibatasi ketika masuk ke sebuah ruangan yang bertuliskan ‘Dilarang Merokok.’ Kebiasaan yang telah menyatu dalam diri seseoranglah ternyata yang akan mewarnai hatinya ketika dia dihadapkan pada sebuah peraturan yang dia rasa membatasi kemerdekaan dan haknya.

Manusia yang biasa melatih membiasakan diri memiliki watak utama akan menuntunnya pada tingkatan budi luhur. Sehingga ketika masalah datang, mereka dapat menanggapinya dengan perasaan dan pikiran yang tetap positif.

Ketika saya menulis nakah ini, pikiran saya kembali melayang ke bangsal tempat para pasien ‘gratisan’ dirawat. Bed berjajar rapat, pembatas hanyalah korden, keluarga pasien harus bergantian mendekat, dan kebanyakan keluarga lain menunggu di luar bangsal, menggelar tikar, duduk atau tiduran dengan mata menerawang. Bisa jadi doa mereka sama dengan doa pasien yang mereka tunggui:
Ya Allah, berilah yang terbaik dan berilah kekuatan agar aku dapat menerima yang menjadi bagianku karena keadilan-Mu.

Bisa jadi mereka juga berdoa untuk para perawat yang dengan TRISNA merawat mereka, meskipun dengan rasio yang mencengangkan, 3 perawat untuk 50 bed:

Ya Allah, berilah kekuatan, kesabaran dan kesehatan para perawat yang telah sudi merawatku dengan TRISNA…

atau malahan boleh jadi mereka tidak berdoa apa pun, karena kepasrahan yang total telah membuatnya mengerti seutuhnya bahwa pengadilan Tuhan sedang dia terima, dan itulah karcis dia untuk ke surga…

Penulis Tinggal di Yogyakarta

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS