Hentikan Keterlibatan Cina Tangani Sutera

Loading

Laporan : Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA, (Tubas) – Pemerintah didesak untuk segera bertindak mengatasi sulitnya bahan baku benang sutera yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat penenun kain sutera di dua desa di Sulawesi Selatan masing-masing Wajo dan Soppeng.

“Pemerintah tidak perlu berteori lagi. Sumber kehidupan sudah di depan mata. Segera bertindak dan turun tangan, serta harus serius. Menghadapi kondisi di Wajo dan Soppeng tidak perlu lagi berdiskusi, sebab pertenunan sutera di dua desa itu bukan hanya impian tapi bisnis nyata yang mampu mendatangkan devisa yang cukup besar,” kata anggota DPR Komisi VI, Lili Asdjudiredja kepada Tubas di kantornya, pekan silam.

Di tempat terpisah, Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM), Euis Saedah menyatakan mengatasi kelangkaan benang sutera tersebut, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimpor telur ulat sutera berkualitas dari Cina.

Lili dan Euis menyatakan pendapatnya secara terpisah mengomentari pemberitaan Tubas menyangkut terancamnya masa depan pertenunan benang sutera akibat menghilangnya ulat sutera sebagai bahan baku utama pemintalan benang sutera di Sulawesi Selatan.

Dirjen IKM menyatakan bahwa langkah lain untuk mengatasi kesulitan bahan baku tersebut adalah melibatkan investor asal Cina, Chogging Wintus Group (Wintus) membantu mengembangkan usaha persuteraan di Indonesia. Salah satunya bantuan Wintus berupa bibit tanaman murbey, telur ulat sutera dan tenaga ahli.

“Apabila kapasitas produksi kokon ulat sutera telah mencapai jumlah tertentu, Wintus akan berinvestasi dalam produksi benang sutera,” kata Euis.

Lili dengan tegas menyatakan bahwa kelangkaan ulat sutera sebagai bahan baku benang sutera adalah akibat ketidakseriusan pemerintah mengelola sektor industri kecil. Membina sektor idustri berbahan baku sektor pertanian katanya sangatlah mudah, apalagi Perhutani di Sulawesi Selatan sudah memiliki hutan murbey seluas 100 hektar.

Mengacu kepada pola one village one product (OVOP) yang dicanangkan pemerintah, kata Lili seharusnya masyarakat penenun sutera di Sulsel tidak perlu mengalami kesulitan bahan baku. OVOP itu lanjut Lili, adalah program pemerintah untuk memberi perhatian khusus kepada produk unggulan dari desa tertentu.

“OVOP-nya Sulsel kan sudah jelas sutera. Kenapa dong tidak diberi perhatian serius untuk sutera. Harusnya, segala apa yang dibutuhkan penenun sutera sebagai OVOP Sulsel, pemerintah harus mensuplai. Tidak hanya bahan baku. Ya bimbingan teknis, modal, penguasaan pasar dan sebagainya, apalagi bahan baku, endak perlu sulit. Tapi begitulah, pemerintah kita sibuk berteori saja,” katanya.

Selanjutnya Lili mengatakan ketidaksetujuannya untuk melibatkan investor Cina mengembangkan usaha persuteraan di Indonesia. Melibatkan investor Cina untuk pengembangan sutera di Indonesia menurut Lili tidak penting. Pasalnya, tanpa pihak asing pun, pemintalan dan pertenunan sutera di Indonesia sudah berlangsung turun temurun dan keistimewaan Cina dibanding Indonesia di bidang sutera tidak ada.

“Pertenunan sutera di dalam negeri cukup diberi perhatian dalam pengadaan bahan baku dan diberi sedikit sentuhan desain. Tapi kalau harus melibatkan Cina, saya pikir tidak terlalu penting, kecuali ada kepentingan lain di dalamnya,” kata Lili.

“Saya heran. Dikit dikit Cina, dikit dikit Cina. Masa untuk sutera saja, Cina harus dilibatkan. Saya yakin dan saya jamin, tidak ada kelebihan Cina untuk mengembangkan sutera. Sudah! Sediakan saja ulatnya yang banyak, pengusaha sutera kita pasti berkembang dan tolak aja itu Cina,” ujarnya.

Lili khawatir dengan melibatkan Cina, industri sutera kita nantinya akan berpindah tangan ke pihak asing. Atau, kata Lili, rendahnya biaya produksi benang sutera di Indonesia akan membuat investor Cina mengutamakan pasar ekspor ketimbang lokal. Saat ini harga benang sutera asal Cina jauh lebih mahal dibanding benang sutera asal Indonesia.

Hebatnya Cina menurut Lili, bukan di teknologi, tapi tingginya perhatian pemerintah terhadap kepentingan dunia usaha. Disebut misalnya, tingkat suku bunga amat rendah dibanding Indonesia. Belum lagi insentif-insentif yang nilainya cukup besar membuat produk Cina menang dalam persaingan harga.

“Kalau soal mutu, khususnya di bidang tekstil, Indonesia jauh lebih hebat dari Cina. Kita lebih unggul dan lebih bermutu. Jadi kenapa untuk ngembangkan kain sutera harus diserahkan ke Cina. Salah itu,” katanya. (sabar)

CATEGORIES
TAGS