Indonesia Terperangkap Jebakan Sistem Ekonomi Liberal

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

INDONESIA telah melaksanakan progam pembangunannya bukan saat ini saja, tetapi sudah berlangsung sejak zaman pra kemerdekaaan dan pasca menjadi bangsa dan negara yang merdeka 17 Agustus 1945.

Dalam perjalanannya, kita pernah mengenal GBHN sebagai garis besar haluan negara dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pasca reformasi kita mengenal propenas dan tahun 2005 kita mengenal adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025 serta diramaikan lagi oleh adanya MP3EI.

Setiap periode perencanaan pasti mengenal adanya istilah prioritas pembangunan baik yang bersifat nasional maupun sektoral. Namun secara eksplisit akan menjadi sulit untuk ditelusuri ketika subsatansinya akan kita cari yang orientasinya sangat tegas menyatakan bahwa apa yang dibuat perencanaannya tersebut adalah sesuatu yang strategis bagi negara.

Mungkin boleh jadi para perumusnya sudah dibayangi oleh semangat doktrin ekonomi pasar yang liberal sehingga kurang berani menyatakan bahwa hal yang strategis bagi negara dikuasai oleh negara, adalah sesuatu yang penting dan prioritas. Karena para perencana pembangunan ekonomi Indonesia sudah terperangkap dalam jebakan sistem ekonomi liberal, maka yang terjadi adalah bahwa mereka merasa nyaman mengambil sikap untuk merancang kebijakan pembangunan ekonomi nasional dengan menempatkan peran negara/pemerintah hanya sebagai regulator.

Akibatnya ketahanan pangan dan energi menjadi soal besar di negeri ini padahal kedua sektor tersebut adalah strategis dan penting bagi negara. Industri dirgantara, industri perkapalan/maritim adalah strategis dan penting bagi negara, tapi pada kenyataannya perkembangan kedua cabang industri tersebut kurang mendapatkan perhatian penuh oleh negara dan seakan prosesnya dibiarkan berjalan mengikuti hukum pasar.

Akibatnya, posisi Indonesia yang seharusnya mampu menjadi negara yang berdaulat dan mandiri di bidang pangan, energi dan sektor industri tertentu kedudukannya menjadi rapuh karena sistem perencanaan dan pengelolaan kebijakan ekonominya menyandarkan diri pada sistem ekonomi liberal, padahal seharusnya harus tunduk pada konstitusi ekonomi negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 33.

Tidak usah kaget ketika kemudian kinerja sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan dalam pembentukan PDB secara agregat tumbuh rendah. Ketiganya yang merupakan sektor tradable secara komulatif hanya mampu tumbuh rata-rata sekitar 4%. Sementara itu, sektor jasa-jasa (non tradable) tumbuh rata-rata 6-7% tiap tahun.

Fakta yang lain juga menunjukkan bahwa selama ini pemerintah lebih fokus asyik mengurusi kebijakan ekonomi makro untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang penggeraknya adalah pasar modal dan pasar uang. Pergerakan investasi portofolio lebih banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah ketimbang menggerakkan investasi langsung di sektor-sektor produksi yang strategis dan penting bagi negara yang output ekonominya secara keseluruhan dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ke depan, kita berharapkan agar sistem pembangunan ekonomi nasional mutlak harus dikembalikan orientasinya ke arah yang lebih benar yaitu berlandaskan kepada konstitusi ekonomi, bukan direncanakan, dibangun dan ditumbuhkembangkan berdasarkan idiologi ekonomi yang bersifat liberal.

Stakeholders bangsa dan negara harus mempunyai kesamaan pandang tentang sistem ekonomi nasional yang harus dikembangkan. Peran negara/pemerintah untuk mengembangkan sektor-sektor yang strategis dan penting bagi negara harus disepakati oleh segenap komponen bangsa dan kemudian nyatakan sebagai prioritas nasional.

Agar akuntabilitas publiknya clear and clear berdasarkan konstitusi ekonomi, maka peran negara/pemerintah bukan hanya sekedar regulator saja, namun harus berperan sebagai pelaku ekonomi dan di sektor-sektor tertentu peran tersebut dapat bertindak sebagai pionir yang didukung oleh kebijakan moneter dan fiskal yang memadai. ***

CATEGORIES
TAGS