Kota Sebagai Pusat Pelayanan Kehidupan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi

Ilustrasi

KETIKA otonomi daerah berjalan satu dasawarsa lebih, belum banyak kita temu kenali postur sebuah kota di Indonesia yang mampu membangun dirinya menjadi pusat pelayanan kehidupan yang bernilai tambah tinggi. Menjadi sumber masalah boleh jadi demikian karena kota yang tumbuh dewasa ini baru sampai pada tahap dimana para kepala daerahnya hanya sibuk mengurus soal kewenangan dan pembagian teritorial yang menjadi wilayah kekuasaannya.

Mudah-mudahan pada satu dasawarsa berikutnya postur kota-kota di Indonesia mengalami kemajuan yang berarti. Kota-kota banyak yang naik kelas dalam artian mampu melakukan perubahan melalui proses inovasi yang sangat berarti agar menjadi kota yang sangat bermakna dan bernilai tambah tinggi bagi penduduknya beserta orang-orang yang datang ke kota itu.

Kota harus bisa menempatkan posisinya menjadi gerbong penarik bagi siapapun (manusia dan mahluk hidup yang lain) menjadi betah, merasa gemah ripah tinggal dan berkunjung di kota tersebut. Di abad modern yang serba uang,dan boleh dikata uang telah menjadi idiologi, ternyata dalam perkembangannya para pengikut idiologi uang pada kebingungan dan galau, resah dan gelisah.

Kenikmatan materialnya terpenuhi, tetapi kenikmatan mental, spirutual dan bahkan ritualnya menjadi terganggu sehingga kehidupannya mengalami dis-equalibrium. Apalagi kalau kenikmatan materialnya diperolah dengan cara yang tidak terpuji. Trend yang terjadi dewasa ini para pengelola kota “terperangkap” dalam gaya hidup hedonis, karena ada peluang ekonomi yang bisa ditangkap.

Akibatnya terjadi perlombaan membangun kota dengan semangat untuk menangkap gaya hidup para hedonis dengan membangun mal tanpa memperhatikan added value kota yang lain. Kota dibangun seperti hanya sekedar untuk hiburan dan berbelanja. Karena dalam persepsinya para hedonis tadi difahami hanya sekedar ingin berburu kenikmatan yang bersifat material saja, padahal dengan kemampuan daya belinya ada kenikmatan lain yang dicari, yaitu yang bersifat spiritual.

Mereka pasti sudah bosan melihat gemerlapan New York di AS atau bergembira di distrik hiburan dan belanja di Ginza, Tokyo, Japan atau tempat-tempat lain di dunia. Para hedonis sudah bosan dengan semuanya itu dan secara manusiawi, mereka akan mencari tempat-tempat yang bisa menjawab kebutuhan mereka di luar yang bersifat kebendaan, atau yang bisa menyegarkan jiwanya.

Tidak usah gamang dan jangan merasa tidak berhasil kalau tidak membangun kotanya seperti New York, Tokyo, Shanghai, Dubai dll. Catat kata bijak penuh makna dari ucapan Lee Kuan Yew, yakni: “Saya selalu yakin bahwa lanskap kota yang karut marut dan hutan beton akan merusak jiwa manusia”. Kita perlu penghijauan alam untuk menyegarkan jiwa kita begitu ujarnya.

Itulah mengapa manusia sejagad gemar sekali tanpa pernah bosan berkunjung ke Singapura karena kota itu rapi, rindang dan udara bersih menyegarkan sangat membuat happy siapapun yang datang dan pergi. Padahal kita tahu bahwa Singapura adalah kota tropis yang panasnya menyengat. Kota-kota di Indonesia harus bisa membangun dirinya menjadi pusat pelayanan kehidupan modern yang tidak lagi harus berbasis pada pendekatan ekonomi pasar ,yang pada akhirnya akan menyebabkan moral dan etika para penghuninya rusak, sikap invidualismenya muncul dan tanpa sadar mengusik rasa keadilan,”hukum rimba” terjadi di bidang ekonomi.

Siapa yang kuat beruntung dan siapa yang lemah buntung.Kegalauan,kehawatiran bersemi dalam kehidupan warganya akibat jiwanya tidak sehat. Kota-kota di Indonesia masing-masing harus dibangun dengan pola by design menuju kota yang menjunjung tinggi peradaban.

Small city is beatiful konsep dasarnya. Yang penting dapat menjawab kebutuhan para penghuninya agar bisa ikut berproses dalam pembangunan peradaban. Karena itu, kota harus mampu menjadikan para penghuninya menikmati kebebasan berfikir untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi warganya untuk membangun kotanya agar peran kota sebagai pusat pelayanan kehidupan secara bertahap terbangun.

Pendidikan dalam arti yang luas harus menjadi basis dasarnya untuk membangun kota sebagai pusat pelayanan kehidupan . Warganya berhasil dididik menjadi insan kamil yang berbudaya,bermatabat dan beradab. Pertumbuhan ekonominya tidak harus setinggi langit, tapi lebih bermakna jika pertumbuhan ekonominya mampu memberikan ruang bagi warganya dan para tamu yang datang mendapatkan secara maksimal apa yang menjadi kebutuhannya yang bersifat non material. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS