Memotong APBN Rp 100 Triliun untuk Konsumsi

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

ANEH tapi nyata, inilah sebuah realita kehidupan, kadang masuk akal, tapi adakalanya ketika fakta di depan mata, hal yang masuk akal bisa menjadi “sebaliknya”. Pada tahun anggaran 2014 yang sudah berjalan 5,5 bulan, pemerintah melakukan tindakan yang tidak populer, yaitu memangkas jumlah APBN sebesar Rp 100 triliun untuk menutupI subsidi BBM yang membengkak menjadi Rp 392 triliun atau mencapai sekitar 31% dari belanja pemerintah.

Pertumbuhhan ekonomi juga dikoreksi menjadi 5,15%. Dari penjelasan itu, tampak bahwa kebijakan fiskal oleh pemerintah adalah pilihan yang harus dilakukan meskipun pahit. Risiko politik dan risiko sosial sangat diperhitungkan sekali demi menjaga stabilitas politik menjelang pergantian rezim. Negara terpaksa berkorban hanya untuk konsumsi BBM yang harganya disubsidi, dan guna menjaga stabilitas politik di dalam negeri. Hitung-hitungan teknis ekonomi harus mengalah dari hitung-hitungan politik dan sosial.

Inilah realitas yang tengah dihadapi oleh negeri ini dan apakah hal yang demikian akan tetap menjadi warna kebijakan politik ke depan oleh rezim penguasa yang baru? Jawaban yang kita harapkan tentu tidak seperti itu. Mesti beda dan harus ada perubahan yang mendasar dalam kebijakan politik anggaran ke depan.Yang perlu diingat, langkah apa pun yang akan ditempuh mesti realistis.

Pertama, kebutuhan APBN/APBD untuk mendukung pembangunan di masa depan pasti akan bertambah besar, terutama untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya yang prioritas. Kedua, kebijakan fiskal negara berdasarkan tatanan hukum yang berlaku di negara ini kaidah-kaidahnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, dan undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara, perbendaharaan negara dan undang-undang lainnya yang terkait.

Artinya, kalau akan melakukan perubahan kebijakan fiskal yang terkait dengan penyusunan APBN/APBD, maka hampir pasti harus diambil langkah legislatif untuk mengubahnya. Tentu, kita berharap kepada anggota parlemen yang baru bisa melakukan upaya strategis agar APBN menjadi cukup punya energi dan daya ungkit yang lebih besar, sehingga pembangunan infrastruktur dapat didukung APBN/APBD yang cukup. Usahakan agar nilainya bisa mencapai sekitar 5% dari PDB ekonomi.

Single Budget

Ketiga, apa pun kebutuhan sebagai negara yang masih perlu membangun, sudah sepantasnya dan berdasarkan logika umum, jumlah anggaran pembangunan yang diperlukan harus lebih besar dari jumlah anggaran rutin. Sekarang ini, yang terjadi sebaliknya, dan semuanya terjadi akibat pemerintah dan DPR menetapkan sistem single budget dalam penyusunan APBN/APBD. Dengan menerapkan sistem single budget, alokasi anggaran dibagi habis untuk keperluan belanja kementerian/lembaga tanpa ada lagi pemisahan mana anggaran rutin dan mana anggaran pembangunan.

Oleh sebab itu, karena periode pembangunan ke depan masih ada sisa waktu 10 tahun ( 2015-2025) sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17/2007 tentang RPJPN, di mana periode tersebut merupakan tahapan menentukan, maka kita harapkan pemerintah dan DPR yang baru dapat merumuskan kebijakan fiskal/APBN/APBD yang lebih propembangunan dan propertumbuhan/investasi dengan menggeser kebijakan fiskal yang bersifat konsumtif.

Kajian dan evaluasi terhadap seluruh program dan kegiatan di seluruh kementrian/lembaga, baik di pusat maupun di daerah, mutlak perlu dilakukan, karena banyak yang bersifat business as usual dan yang seperti ini berulang terjadi pada setiap tahun anggaran. Banyak pula anggaran yang bersifat ganda, dan belum lagi banyak anggaran yang dikriminalisasi melalui KKN. Pemerintah dan DPR yang baru harus bisa bekerja lebih baik.

Kalau pertumbuhan ekonomi akan kita genjot di masa yang akan datang, maka kebijakan fiskal yang terkait dengan pengelolaan APBN/APBD harus ditata ulang lebih mendasar agar porsinya yang dialokasikan untuk investasi jauh lebih besar dari sekadar untuk mendanai belanja rutin yang bersifat konsumtif. Reformasi birokrasi harus berjalan ke arah perubahan struktur birokrasi yang efisien dan efektif, termasuk harus ada keberanian untuk merampingkan organisasi. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS