Mempertaruhkan Hidup Mati

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

PELAKSANAAN Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran kedua tinggal beberapa hari lagi. Dua pasangan yang lolos dari putaran pertama Jokowi-Ahok dan Foke-Nara sudah siap menghadapi kenyataan, siapa menang dan siapa yang akan kalah. Kalau untuk menang, tentunya semua calon siap. Tapi untuk kalah, belum tentu. Bahkan yang paling parah, jika pasangan calon yang dijagokan itu kalah, yang paling ribut adalah pendukungnya.

Tidak jelas sebenarnya apa alasan para pendukung bisa mempertaruhkan hidup matinya bagi pasangan calon yang dijagokan. Sepertinya langit sudah runtuh jika pasangan calon yang diunggulkan itu kalah. Pokoknya harus menang! Kira-kira begitu tekad para pendukung.

Sebenarnya sah-sah saja sih jika pihak pendukung atau yang lebih dikenal dengan sebutan tim sukses mengerahkan segala tenaga dan upaya untuk memenangkan jagoannya. Trik-trik dan taktik memenangkan jagoan silakan saja, asal jangan melanggar aturan main.

Tapi didorong oleh tekad tadi, banyak dari kelompok pendukung pasangan calon jadi gelap mata, tidak berfikir realistis, yang penting menang dan menang.

Padahal, memilih seorang pemimpin bukan asal menang. Akan tetapi, harus jelas visi dan misi serta track record calon yang akan kita pilih. Mampu tidak calon bersangkutan memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan dipilih tersebut.

Kalau itu dasar pertimbangan menentukan pilihan, maka seluruh masyarakat pemilih sebaiknya super hati-hati untuk menentukan pilihan. Jangan sampai membeli kucing dalam karung atau hanya sekedar ikut-ikutan menentukan pilihan dengan orang lain.

Harus kita ingat bahwa memilih seorang pemimpin di negeri kita tercinta ini, begitu kita sudah tentukan pilihan yang waktunya hanya beberapa menit di bilik pemilihan, selama lima tahun ke depan, kehidupan kita berbangsa dan bernegara sudah kita serahkan sepenuhnya kepada yang kita pilih barusan.

Artinya, kehidupan kita sebagai warganegara selama lima tahun ini sudah kita ‘’gadaikan’’ kepada sang pemimpin tadi. Seluruh kepentingan kita sebagai warganegara sudah kita serahkan kepada pemimpin tersebut.

Maka itu, supaya jangan terjadi penyesalan, sebaiknya seluruh warga pemilih, berfikir tenang, jangan emosi, jangan terbawa arus, jangan dipengaruhi pihak lain atau jangan sampai terpengaruh oleh bahasa-bahasa iklan. Tapi jadilah diri anda sebab jika kita salah pilih, harus kita tunggu lima tahun lagi agar kepemimpinan dipilih kembali.
Ingat, jika termakan isu melalui bahasa iklan, tidak ada kecap nomor dua di muka bumi ini. Semua kecap nomor satu dan tiada tandingan. Untuk itu, kita sendirilah yang menentukan kecap merek apa yang cocok bagi kita.

Yang pasti, para calon pemimpin, akan pula menempuh berbagai cara untuk menarik minat pemilih. Sebut saja misalnya di salah wilayah yang akan melakukan Pilkada. Salah satu strategi bakal calon untuk menarik minat pemilih adalah dengan menonjolkan etnisitasnya. Seperti kita ketahui di berbagai media, seorang bakal calon yang dulunya tidak pernah menyematkan marga di belakang namanya, sekarang karena punya “hasrat” yang kuat untuk menjadi orang nomor satu di Sumut telah menempelkan marganya.

Tentu, sah-sah saja dan itu hak hakiki setiap orang. Namun ini menjadi satu bukti, bahwa “perang” menuju puncak kepemimpinan itu membutuhkan “amunisi” yang disebut etnis itu. Karena bisa dipastikan, Sumut yang begitu beragam secara etnis, maka para calon yang bertarung, juga akan berasal dari beragam etnik.

Memang tidak bisa dipungkiri, secara naluri, kita akan merasa lebih dekat, lebih bersahabat, lebih kompak, atau lebih mengerti bila kita dipimpin oleh pemimpin yang satu etnis dengan kita. Naluri kemanusiaan kita memiliki kecenderungan untuk lebih percaya kepada figur yang seragam dengan kita.

Maka satu sisi wajar bila para bakal calon yang hendak bertarung menggunakan kesempatan dan naluri itu, untuk memperdaya pemilih dengan menyatakan, kalau ada “orang kita”, mengapa kita harus memilih “orang lain”. Tapi slogan ini-pun tidak sepenuhnya benar. ***

CATEGORIES
TAGS