Menang Tanpo Ngasorake

Loading

Oleh: Edi Siswojo

Ilustrasi

Ilustrasi

ADA pesan orang tua di masyarakat suku Jawa, nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake. Artinya, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan yang kalah. Bisa juga diartikan pihak yang menang dalam suatu pertempuran, tidak membuat malu pihak yang kalah. Tampaknya, pesan tersebut bisa membantu menjelaskan hiruk pikuk prahara di Partai Demokrat (PD) sejak 8 Pebruari 2012.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Jumat Pon 8 Pebruari 2012 sebagai Ketua Majelis Tinggi/Ketua Dewan Pembina/Ketua Dewan Kehormatan PD tanpa ragu menyatakan memberi kesempatan kepada Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum untuk berkonsentrasi terhadap dugaan masalah hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait korupsi pusat olah raga Hambalang.

Pernyataan itu oleh sejumlah kalangan di masyarakat–melalui media massa–ada yang menyebutnya sebagai “kudeta setengah hati”. Alasanya, meski Anas Urbaningrum masih menjadi Ketua Umum DPP PD tapi kewenangannya telah dipreteli oleh Ketua Majelis Tinggi. Tangan halus dan kuat SBY tanpa ragu mengambil alih kekuasaan untuk melakukan penataan, penertiban dan pembersihan di tubuh PD.

Langkah yang diambil SBY tersebut berkaitan dengan kegalauan sejumlah kalangan elite PD terhadap merosotnya elektabilitas–keterpilihan–PD yang menurut hasil survei Saiful Mujani Research and Counsulting (SMRC) tinggal 8,3 persen.

Apa yang dilakukan SBY menimbulkan banyak silang pendapat di kalangan masyarakat. Bagaimana memahami peristiwa itu? Pesan Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake bisa membantu menggambarkan apa yang terjadi di tubuh PD. Secara de facto SBY yang berkuasa dan secara de jure Anas tetap sebagai Ketua Umum PD. SBY menang, Anas kalah tapi merasa tidak kehilangan muka.

Sejarah mencatat peristiwa yang mirip pernah terjadi di Indonesia menyusul peristiwa G.30 S/PKI tahun 1965. Secara de facto Pangkostrad Jenderal Soeharto yang berkuasa dan Soekarno secara de jure masih menjadi presiden, sampai akhirnya terjadi pemindahan kekuasan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Apa yang terjadi di rumah SBY di Puri Cikeas Bogor pada malam Jumat pon 8 Pebruari 2012 boleh dikatakan sebagai pertempuran “gaya Jawa” dengan semangat dan jiwa nglurug tanpo bolo menang tanpe ngasorake! ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS