Meneliti Keburukan Diri Sendiri

Loading

Oleh: Suryadi

Ilustrasi

Ilustrasi

“APABILA engkau mau meneliti keburukanmu sendiri, engkau pasti tidak sempat melihat kejelekan tetanggamu, sebab kejelekanmu sendiri yang kau hitung dengan cermat, tidak terbilang banyaknya, sehingga engkau tidak sempat mengetahui kejelekan orang lain. Karena itu ubahlah watakmu yang jelek tadi, gantilah dengan watak manusiamu sejati, agar engkau tetap disebut manusia, serta setia dan taat menghamba Tuhan, dengan menetapi apa yang telah menjadi kesanggupanmu dan mematuhi semua perintah Tuhan, serta menjauhi larangan Tuhan..” (Sangka Jati, 2006)

Melaksanakan apa yang tersebut di atas adalah tidak mudah. Kalau semula saya mengira sedang meneliti keburukan diri sendiri, setelah beberapa waktu ternyata salah. Saya justru sedang tenggelam dalam kemarahan karena teringat pertengkaran lama yang belum saya relakan. Saya masih saja geram dan marah, walaupun kejadiannya sudah lama berlalu. Baru tersadar dari lamunan setelah merasa penat. Ternyata melamun itu melelahkan.

Setelah sering melakukan kesalahan, maka baru ketahuan letak kesalahan saya. Pertama: saya menangkap arti meneliti keburukanmu dalam kalimat di atas sebagai sama artinya dengan: meneliti kesalahanmu sendiri. Padahal tidak demikian. Buruk dan salah adalah dua hal yang berbeda.

Buruk dapat berarti tidak bagus atau lemah tetapi belum tentu salah, walaupun keburukan memudahkan terjadinya kesalahan. Sedangkan salah itu pasti sesuatu yang buruk walaupun tampil gagah. Kedua: Saya mengira bahwa meneliti keburukan sendiri itu baru dapat dilakukan setelah suatu pertengkaran. Jadi, kalau tidak ada pertengkaran, ya tidak ada yang perlu diteliti.

Ternyata itu juga salah. Yang benar yaitu: kegiatan meneliti keburukan diri sendiri tidak tergantung pada pertengkaran. Makin berani meneliti keburukan sendiri, berarti makin berani kita ‘menyelami’ isi hati kita, dan menyaksikan betapa banyak kesalahan-kesalahan baru yang kita temukan dibalik gundukan keburukan yang tersembunyi rapi. Kesalahan-kesalahan itu selain banyak juga memalukan sehingga kita tidak sempat mengetahui kesalahan tetangga kita. Oleh karena kita tidak punya waktu untuk bertengkar.

Di bawah ini adalah hasil penelitian saya yang suka usil dan mempermainkan orang lain. Orang yang saya permainkan biasanya jengkel tetapi tak dapat marah bahkan ikut tertawa karena lucu. Waktu itu saya tidak merasa perbuatan di atas sebagai sebuah kesalahan. Namun setelah saya lebih dewasa, sadar bahwa melucu dengan mempermainkan orang lain itu lelucon yang buruk, salah dan tidak sopan.

Berarti tidak akan kukerjakan lagi. Tetapi membuang kebiasaan buruk yang sudah mendarah-daging itu tidak mudah. Nah, kebiasaan buruk yang sulit dibuang itulah yang perlu diteliti. Setelah penelitian melewati waktu panjang, saya tahu bahwa orang yang pandai mempermainkan atau mengejek orang lain itu sebenarnya adalah orang yang mempunyai kelebihan dalam mengamati orang lain. Sayang hasil pengamatannya tadi diarahkan ke arah yang tercela. Bila hal ini dikembangkan ke arah yang positif, hasilnya akan lain yaitu: mempunyai kemampuan melihat hakikat lewat gejala yang menampakkan dirinya. Di bawah ini akan saya jelaskan arti dan maksudnya.

Seorang pemuda penderita penyakit kulit seperti eksim, gatal-gatal, adalah bahan olok-olok saya. Setelah suatu ejekan telak yang membuat si pemuda tadi sangat sedih, baru saya merasa iba. Sejak kejadian itu saya berubah simpati. Apalagi setelah saya tahu banyak tentang dia, orang tuanya, saudara-saudaranya dan terutama penyakit eksimnya yang ternyata belum lama dideritanya.

Suatu pagi dua minggu kemudian tiba-tiba saya langsung tahu bahwa ia sedang stres. Setelah kuberitahu bahwa ia sebenarnya anak baik, tetapi saat itu sedang stres karena tidak cocok dengan jenis pekerjaan dan tempat tinggalnya, ia pun terlihat tenang. Apalagi ketika aku menyarankan agar mencari pekerjaan lainnya, ia gembira karena sejak semula memang tidak menyukai sama sekali pekerjaannya.

Bulan berikutnya ketika ia pamit keluar dari tempat pekerjaannya, setelah mengambil gaji terakhirnya di tempat ia bekerja, diperlihatkannya kepada saya bahwa gatal-gatal di tubuhnya telah sembuh total. Ini yang saya maksud dengan kemampuan melihat hakikat lewat gejala yang menampakkan diri. Ternyata di balik gejala tadi (gatal-gatal) ada batin yang menolak tugas. Penolakan inilah yang merupakan hakikat dibalik gejala.

Sampai saat ini pun, aku masih sering usil, tetapi tidak lagi tercetus dalam kata-kata langsung, hanya di dalam hati sehingga tidak lagi menyinggung perasaan orang lain. Oleh karena, aku sadar bahwa tidak pantas bila kekurangan orang lain dijadikan bahan lelucon. Inilah pengalaman pribadiku, ketika berusaha meneliti keburukkan sendiri, yang menambah pengetahuan saya juga terutama mengarahkan pikiran dan perasaan halus saya bukan untuk mempermainkan, tetapi untuk perduli dan menyayangi. ***

CATEGORIES
TAGS