Mengumbar Perbedaan Atas Nama Demokrasi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi

ilustrasi

PAHAM demokrasi selalu memberikan pelajaran bahwa menghargai perbedaan adalah ciri dari sistem yang demokratis. Namun jika salah cara memaknainya dan keliru cara mengelolanya, bisa menjadi persoalan bagi negara yang menganut sistem demokrasi karena para elitnya bersifat pragmatis dalam memahami sistem demokrasi yang sekarang dianut oleh negeri ini.

Contoh sikap pragmatis yang dapat kita lihat dalam keseharian adalah para elit politik sering mengucapkan kalimat pendek, yaitu bahwa perbedaan adalah hal yang biasa dalam demokrasi. Disadari atau tidak,pernyataan-pernyataan semacam itu yang terus berulang disampaikan, dapat berdampak “negatif” terhadap upaya membangun persatuan dan kesatuan bangsa sebagai ciri demokrasi Pancasila.

Perbedaan sebagai ciri dari sistem demokrasi liberal telah makin jauh membawa negeri ini menggerus azas dasar demokrasi Pancasila, yaitu rasa persatuan dan kesatuan.NKRI sudah tidak terbingkai lagi dengan baik dan potensi menjadikan Indonesia sebagai negara federal sangat terbuka.

Konsep otonomi dan desentralisasi politik dan kekuasaan sebagai salah manifestasi pelaksanaan sistem demokrasi liberal telah menggiring secara kuat terjadinya pembentukan negara federal. Undang-undang nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan yang terbaru dengan lahirnya UU tentang Desa, secara vertikal telah makin menegaskan bahwa otonomi dan desentralisasi kekuasaan jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan rakyat sebagai subyek pembangunan.

Hubungan yang bersifat horizontal antar daerah nyaris tidak terjadi karena masing-masing sudah merasa berdaulat sebagai daerah otonom. Mereka lupa bahwa kerjasama itu adalah sesuatu yang penting dalam melaksanakan pembangunan daerah. Kedaulatan daerah sebagai wilayah otonom yang difahami secara keliru sangat mudah diinfiltrasi oleh berbagai kelompok kepentingan (baik dari dalam maupun dari luar) yang menginginkan untuk melakukan kapitalisasi aset daerah ,terutama bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam.

Semua rentetan alur analisis dari opini ini telah memberikan penguatan bahwa mengumbar perbedaan sebagai bentuk manifestasi sistem demokrasi liberal telah membawa konsekwensi bahwa peran pemerintah pusat menjadi kedodoran untuk memanajemeni NKRI. Dalam kondisi dimana ketimpangan masih terjadi, baik antar wilayah/antar daerah, maupun ketimpangan antar kelompok pendapatan yang lebar, slogan yang selalu keluar dari ucapan elit politik bahwa perbedaan adalah hal yang lumrah dalam demokrasi, benar-benar telah menjadi “bumerang”.

Yang pertama adalah bahwa bumerang terjadi karena pemerintah pusat tidak berhasil mengendalikan keinginan daerah untuk menjadi semakin otonom. Usulan pemekaran daerah terus berdatangan, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan tekanan dari daerah tertentu untuk menjadi wilayah otonomi khusus yang makin independen menjadi daerah yang makin berdaulat, rasanya tidak akan pernah berhenti.

Bumerang kedua terjadi, beban fiskal yang disediakan pusat makin berat, karena secara de facto daerah-daerah yang sudah menjadi otonom, pemekaran dan menjadi daerah yang berstatus sebagai wilayah otonomi khusus masih hidup dari beban APBN. Kemandirian daerah masih jauh dari harapan dan akibatnya proses otonomi dan desentralisasi yang terbentuk hingga saat ini masih menjadi beban nasional.

Lantas apa yang seharusnya dikerjakan agar bangsa dan negara ini tetap dapat mewujudkan cita-citanya menjadi NKRI yang kuat dan maju? Jawabanya berpulang pada keputusan politik yang akan diambil para elitnya sendiri, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif. Yang pasti jika sistemnya tetap liberal seperti selama ini, Indonesia tetap tidak akan pernah terpimpin dengan baik untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS