Mobil Murah Untuk Siapa?

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

GONJANG-ganjing sekitar perlu tidaknya diluncurkan produk mobil murah yang dikenal dengan sebutan LCGC (low cost green car) terus mengalir. Banyak yang setuju tapi tidak sedikit juga yang tidak setuju. Yang satu pihak mengatakan hentikan produk mobil murah sementara pihak lain menyatakan jalan terus dan tidak perlu dilarang.

Inilah alam demokrasi. Semua bisa angkat bicara. Sesama menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II juga, ada yang beda suara sekitar LCGC. Tidak salah sih perbedaan suara, namun kenapa ketidaksetujuan itu terdengar setelah mobil murah sudah siap dipasarkan.

Demikian juga suara dari wakil rakyat kita di DPR. Mereka mengatakan kalau program mobil murah tidak sesuai dengan roh pengembangan ekonomi nasional. Betul tidaknya kesimpulan para wakil rakyat di Senayan sana, tidak perlu didebatkan di forum ini.

Akan tetapi jika benar program LCGC tidak sesuai roh pengembangan ekonomi nasional, kenapa tidak dari awal program pelahiran mobil murah ditolak alias dihentikan. Kalau tidak salah data, proyek pengembangan mobil murah sudah diproses sekitar kurang lebih tiga tahun. Artinya, dalam kurun waktu tiga tahun memperbincangkan rencana produksi mobil murah tersebut, cukup luas peluang bagi para pihak untuk menyatakan setuju atau tidak setuju.

Kalau bisa disimpulkan, beraninya pemerintah pusat menerbitkan aturan untuk memproduksi mobil murah, sudah dapat difahami bahwa semua pemangku kepentingan, baik itu legislatif maupun eksekutif sudah menyatakan setuju. Tekad negeri ini sudah bulat tidak lonjong lagi sehingga pemerintah memprolamirkannya dan akhirnya sejak September 2013, lahirlah mobil murah buatan Indonesia.

Namun tiba-tiba ‘’disergap’’ dan terdengar suara ketidak setujuan yang pertama meluncur dari Gubernur DKI Jakarta, Jokowi yang disusul oleh Menteri Perhubungan Mangindaan dan seterusnya dari anggota DPR. Inti ketidaksetujuan mereka adalah Jakarta sudah macet.

Jika kemacetan menjadi momok, kita mau tanya apakah saat dalam proses pelahiran program mobil murah tiga tahun silam masalah kemacetan lalulintas tidak masuk dalam pembahasan. Atau mungkin luput dari pandangan?

Jika kemacetan jadi alasan lalu produksi mobil murah dihentikan, kita juga mau tanya lagi, apakah dengan berhentinya produksi mobil murah, di Indonesia tidak akan ada lagi penambahan mobil? Jawabnya pasti terus bertambah.

Sebagai informasi, jika Indonesia stop produksi mobil murah, kemacetan tidak dijamin teratasi. Bahkan akan semakin menjadi-jadi. Pasalnya? Indonesia akan dibanjiri mobil murah buatan negara tetangga apalagi dengan akan dibukanya Pasar Tunggal ASEAN per Januari 2015.

Apapun ceritanya, mobil murah buatan luar negeri akan membanjiri Indonesia dan mobil murah produk asing itu akan lebih leluasa menguasai pasar domestik karena tidak ada saingannya lagi. Indonesia sejak saat itu menjadi sasaran pasar mobil murah impor. Lalu apakah kita bisa melarang masuknya mobil murah impor hanya dengan alasan Jakarta sudah macet. Ya tidak bisalah.

Itu artinya, kegalauan sejumlah pemangku kepentingan tentang jalan macet karena mobil murah, kurang berkenan. Membatasi industri mobil untuk mengurangi kemacetan di Ibukota bukan langkah tepat, tetapi bagaimana bisa mengurai kemacetan? Bukan menghentikan produk.

Bisa dibayangkan, bila industri mobil dikorbankan hanya untuk mencegah kemacetan, dikhawatirkan akan bisa menimbulkan pengangguran karena dengan berhentinya produksi, maka otomatis pengurangan tenaga kerja yang amat besar. Dimana-mana produsen sebuah produk di muka bumi, pikirannya hanya satu yakni meningkatkan produk, bukan menurunkan produk. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS