“Panas” di Semenanjung Korea

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

AKHIRNYA Korea Utara memutuskan hotline-nya dengan Korea Selatan sebagai reaksi atas penyelenggaraan latihan militer bersama Korea Selatan dan AS, yang dimulai Senin (11/3/2013) dan terbitnya sanksi baru Dewan Keamanan PBB. Isyarat pemutusan hotline itu, yang juga disebut memutus gencatan senjata yang mengakhiri perang Korea pada 1953, telah dilontarkan pihak Korut pekan lalu.

Latihan bersama AS-Korsel “Key Resolve” yang akan berlangsung dua pekan, diselenggarakan setelah ketegangan meningkat di Semenanjung. Suasana “panas” meningkat setelah Korut dikenai sanksi baru oleh DK Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai tanggapan atas uji nuklir negara itu pada Februari lalu.

Merujuk berita media massa, pemerintah Korut menilai latihan bersama itu sebagai manuver dan provokasi, dan karena itu, dijawab dengan memutuskan gencatan senjata tahun 1953, yang mengakhiri perang antara kedua Korea.

Bagaimana reaksi PBB? Badan dunia itu, Senin, mengatakan, gencatan senjata yang menghentikan Perang Korea 1950-1953 tetap berlaku meskipun Korut mengklaim telah membatalkannya. Juru Bicara PBB Martin Nesirky kepada wartawan mengatakan, perjanjian gencatan senjata masih berlaku dan masih punya kekuatan.

Ia merujuk pada persyaratan bahwa perjanjian gencatan senjata tidak memungkinkan kedua pihak, atau secara sepihak, untuk membebaskan diri dari ikatan tersebut. Menurut Nesirky, Sekjen PBB Ban Ki-moon percaya, gencatan senjata berumur 60 tahun itu tetap menjadi dokumen “kritis”. Maka, Ban menyerukan Korut menghormati ketentuan itu.

Mengenai pemutusan hotline antara Pyongyang dan Seoul, yang dibuka pada 1971, juru bicara Kementerian Unifikasi Korea Selatan mengemukakan, para pejabat mereka berupaya mempertahankan kontak dengan berbicara di telepon pada pukul 09.00 dan 16.00 setiap hari, tapi Korut tak menjawab panggilan tersebut. Terkait dengan itu, surat kabar Partai Komunis yang berkuasa di Korut, Rodong Sinmun, memberitakan dalam edisi Senin, gencatan senjata 1953 telah berakhir.

Pada 2012 lalu, suasana panas sempat menyeruak di Semenanjung setelah Korut melaksanakan uji coba roket, yang disebut untuk kepentingan satelit. Perang kata-kata pun terus berkobar di Semenanjung Korea. Kemudian, dunia dikejutkan oleh tindakan Korut menguji senjata nuklir pada Februari lalu. Setelah itu, mengancam menyerang Amerika Serikat.

Siap Perang

Pekan lalu, pemimpin Korut Kim Jong-Un menegaskan, negaranya siap melancarkan perang habis-habisan. Seperti disiarkan kantor berita resmi Korut, KCNA, yang dikutip media massa global, Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK), Kamis (7/3/2013), mengatakan, militer negaranya siap menghadapi perang.

Tatkala memeriksa satuan Angkatan Darat di dua pulau di bagian barat-daya DPRK, yang disebut garis depan, Kim mengatakan, semua personel yang bertugas di darat, laut, udara, antipesawat udara serta pasukan roket strategis, sepenuhnya siap menghadapi perang habis-habisan ala Korea. Kim juga mengatakan, akan mengeluarkan perintah untuk memulai gerak maju yang besar bagi penyatuan kembali nasional jika musuh melakukan sedikit saja provokasi sembrono terhadap DPRK.

Sebelumnya, Korsel dan AS sudah menjadwalkan pelatihan militer gabungan pada 11 Maret. Latihan itu, “Key Resolve”, kabarnya melibatkan 10.000 prajurit Korsel dan 3.500 tentara AS. Rencana latihan ini yang disebut oleh DPRK sebagai pendahuluan bagi serbuan. Maka, Korut pun mengancam AS dengan serangan nuklir “untuk mendahului”.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri DPRK yang tak disebutkan namanya, Kamis pekan lalu mengatakan, negeri tersebut akan memiliki hak untuk melakukan tindakan militer hingga 11 Maret. Pada saat itu, latihan militer AS-Korea Selatan memasuki tahap skala penuh, dan karena itu, Pyongyang menyatakan gencatan senjata 1953 tidak sah.

Korea Utara juga bereaksi terhadap pengumuman sanksi PBB dengan menyatakan memutus pakta gencatan senjata tahun 1953. PBB meloloskan sanksi melalui resolusi sebagai tanggapan atas uji coba nuklir Korea Utara meski di tengah kecaman internasional pada Februari lalu. DK PBB secara bulat mendukung Resolusi 2094, yang mengenakan sejumlah sanksi baru terhadap Korea Utara.

Kalangan pengamat menilai, level ancaman Korut lebih serius dibanding sebelumnya. Ini dapat dilihat dari kunjungan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un ke unit tempur di garis depan. Jong-Un disebut-sebut meminta tentaranya agar siaga “memusnahkan musuh” kapan pun dan menegaskan kembali apa yang dinamainya sebagai “target musuh” di lima pulau di laut barat negara itu.

Pemutusan kontak itu dengan sendirinya menutup ruang komunikasi antara kedua negara. Selama ini, hotline tersebut berperan penting dalam menyelesaikan masalah atau mendinginkan suasana panas antara kedua negara. Saling mengontak dapat segera dilakukan bila terjadi gesekan. Sekarang, tanpa tersedia hubungan langsung, lancar, maka akan sulit saling mengontak. Inilah yang kini mengkhawatirkan di Semenanjung Korea.

Meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea tentu menjadi keprihatinan bersama dunia, terutama negara-negara di kawasan itu. Dunia yang cinta damai tak menginginkan konflik apalagi perang. Perdamaian adalah milik semua negara. Oleh karena itu, level keseriusan ancaman hendaknya dapat dikurangi hingga ke titik terendah. Dalam hal ini, diharapkan PBB lebih banyak mengambil peran penting agar suasana di Semenanjung Korea kembali ke tataran kondusif. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS