Pedoman Azas Praduga Tak Bersalah Sudah Usang

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

PENYELIDIKAN dimulai. Sejak saat itu subjek yang disasar pun dinyatakan berstatus masih sebagai terperiksa. Namun, begitu ditemukan minimal dua alat bukti dengan dukungan perangkat saksi, otomatis status terperiksa ditingkatkan menjadi sebagai tersangka.

Pertanyaannya, apakah masih relevan penerapan pedoman azas “Praduga Tak Bersalah” bagi tersangka yang telah dijerat dengan fakta minimal dua alat bukti dengan dukungan perangkat saksi atas kejahatan yang dipersangkakan itu?

Pertanyaan ini tentunya spesifik keterkaitannya hanya untuk kejahatan tindak pidana korupsi. Sebab kejahatan yang satu ini dilakukan secara sistematis dan punya implikasi daya rusak begitu dahsyat hingga ke akar aspek kehidupan sedemikian fundamental menyangkut peradaban ekonomi, politik, sosial dan budaya bahkan juga merasuk pada nilai-nilai spiritual.

Padahal jika ditilik dari kaidah bahasa maka kalimat “Praduga Tak Bersalah” ini sangat berkarakter pasif, sementara modus operandi yang dilakukan para tersangka itu begitu sangat aktif hingga melibatkan seluruh unsur birokrasi terkait. Maka tak heran jika para elite di lembaga eksekutif, judikatif dan legislatif sebagian besar masih sangat suka menggunakan azas penyejuk hati para tersangka korupsi itu khususnya di kalangan kaum profesional pengacara dan elite partai politik.

Untuk kenyamanan detak jantung para tersangka bahkan terdakwa sekali pun, pengacara akan berang jika identitas kliennya disiarkan secara lengkap ke publik. Benteng pamungkasnya azas “Praduga Tak Bersalah”. Sikap serupa juga dilakukan para elite politik bila menyangkut keterlibatan kader partainya.

Jangan disebut-sebut identitas lengkap para tersangka sekalipun sudah divonis di tingkat pengadilan pertama. “Diharamkan” jika putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap di Mahkamah Agung. Lagi-lagi bersandar pada azas “Praduga Tak Bersalah”.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi pun rupanya sudah terjebak hingga menggiring institusinya pada nuansa rasa kurang percaya diri. Setiap memberikan keterangan pers Johan Budi selalu “menyembunyikan” nama lengkap tersangka dengan menggunakan inisial.

Padahal KPK dilarang keras untuk menerbitkan SP-3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) bagi setiap subjek hukum yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Itu artinya setiap tersangka dipastikan akan menjadi terpidana di pengadilan. Kesimpulan ini sudah terbukti di pengadilan tak seorang pun yang dipersangkakan KPK lolos dari hukuman. Namun Johan Budi tetap saja “ketakutan” dihadang azas yang berkarakter pasif itu.

Minimal dua alat bukti dengan kelengkapan dukungan perangkat kesaksian, telah memutus benang merah. Karena azas “Praduga Tak Bersalah” seketika menjadi usang. Maka kejahatan korupsi yang begitu aktif tidak lagi dihadapkan dengan azas yang sedemikian pasif. Perimbangan kekuatannya harus berhadapan dengan azas yang juga aktif yakni “Patut Diduga Bersalah”.

Begitu distatuskan sebagai tersangka korupsi, baginya tidak lagi dipatutkan azas bertoleransi itu kecuali azas “Patut Diduga Bersalah” hingga pengadilan menyatakan tidak bersalah. Sebab vonis bebas pengadilan itu sendiri sekaligus telah merehabilitasi pengembalian nama baik bersangkutan.

Profesor Sahetapi memahami mengapa sikap masyarakat luas begitu cepat menjatuhkan sanksi sosial bagi para tersangka korupsi. Menurut Guru Besar Hukum Pidana ini, penghakiman secara prematur itu dilakukan karena mereka merasakan langsung himpitan ekonomi keseharian sementara para tersangka korupsi itu hidup bergelimang harta mencolok mata.

Menurut Sahetapi, sanksi sosial itu tak mungkin terhindarkan. Tapi yang pasti penggunaan azas “Praduda Tak Bersalah” itu dalam kajian sang profesor sepatutnya digunakan sejak status tersangka menjadi terdakwa. Kemudian seluruh praduga akan diluruskan sesuai fakta persidangan oleh putusan hakim menjadi satu kepastian. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS