Pembangunan Rusun Sebaiknya Dikaitkan Dengan Program “Urban Renewal”

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi

RENCANA pembangunan rumah susun oleh Perum Perumnas bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebaiknya dikaitkan dengan program penataan kota baru atau pembaharuan kota (urban renewal) dengan memprioritaskan menampung penghuni lama dan bukan menambah peminat baru. Artinya, pembangunan rumah susun harus diselaraskan dengan penataan kota yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2014 tentang rencana detail tata ruang (RDTR) di DKI Jakarta saat ini.

Apa yang direncanakan Pemprov DKI Jakarta untuk memindahkan warga yang sering kebanjiran di sepanjang bantaran sungai atau karena gusuran, merekalah yang diprioritaskan ditampung di rumah susun yang baru. Setelah itu selesai, barulah diproyeksikan urban renewal atau membangun baru kawasan-kawasan permukiman kumuh untuk ditingkatkan menjadi hunian modern.

Dalam pembangunan perumahan baru ini, sudah tentu berupa rumah susun atau bangunan vertikal untuk menghemat lahan, yang bisa diterapkan subsidi silang dengan membangun kawasan komersial di lahan yang tersisa. Kawasan kumuh yang padat penduduk di Jakarta cukup banyak untuk dijadikan proyek urban renewal.

Untuk penataan kawasan kumuh inilah Perum Perumanas sebagai Badan Usaha Milik Negara sangat berperan untuk memodernisasi kota-kota di Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah daerah atau pemerintah kota setempat. Sebagai BUMN, Perum Perumnas bisa menerapkan subsidi silang menata kota dengan mengambil untung dari membangun rumah susun sederhana yang murah dengan kawasan komersial yang mahal.

Direktur Utama Perum Perumnas, Himawan Arief Sugoto pekan lalu di Balai Kota Merdeka Selatan Jakarta mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Pemprov DKI sedang membangun dua blok rumah susun sederhana di kawasan kumuh Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Dua blok itu akan selesai dibangun dan bisa dihuni akhir tahun ini.

Lahan kumuh Kebon Kosong yang ditinggali warga itu akan dikembangkan menjadi kawasan hunian terpadu. Dua blok rumah susun itu masing-masing dibangun setinggi 20 lantai dengan jumlah hunian 400 unit. Dana pembangunannya mencapai Rp 800 miliar yang berasal dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) BUMN.

Menurut data dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta, ada sekitar 1.100 orang yang menghuni kawasan kumuh di Kebon Kosong seluas 14,4 hektare itu. Mereka rata-rata sudah menghuni lokasi itu selama 10 tahun. Tidak jelas, apakah penghuni lama ini akan otomatis ditampung di rumah susun baru tersebut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menginginkan dua blok rumah susun yang dibangun oleh Perum Perumnas itu sebagai rumah susun sederhana sewa (rusunawa) agar tidak mudah diperjual-belikan.

Namun, pihak Perumnas menghendaki rumah susun sederhana milik (rusunami), karena pihak Perumnas perlu mendapat pengembalian investasi. Jalan keluarnya, dalam rangka program urban renewal, mungkin di antara lahan 14,4 hektar itu bisa dibangun rumah susun komersial untuk subsidi silang.

Sebenarnya yang sangat mendesak saat ini di Jakarta, adalah realisasi program pembangunan rumah susun sederhana sewa atau rumah susun sederhana milik untuk merelokasi penduduk dari bantaran sungai dan kawasan rawan bencana banjir lainnya. Seperti penduduk dari bantaran Sungai Ciliwung yang setiap musim hujan selalu khawatir terancam banjir.

Demikian pula rencana relokasi penduduk dari pelebaran dan pengerukan sejumlah sungai-sungai lainnya. Semuanya membutuhkan permukiman yang aman dan sehat, tapi dengan harga atau sewa yang terjangkau. Belum lagi dari relokasi penghuni illegal dari lokasi waduk-waduk. Keberanian pemimpin kota Jakarta untuk menegakkan hukum dengan cara berdialog dan memberikan jalan keluar yang damai bagi para penghuni illegal tersebut, patut diapresiasi.

Penyerobotan tanah di jalur-jalur hijau maupun di kawasan-kawasan terlarang di Jakarta sebenarnya, adalah karena didesak kebutuhan permukiman yang tidak tersedia. Peraturan Pemerintah terhadap pengembang untuk membangun hunian berimbang, tidak pernah ditepati dan dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat. Kewajiban untuk membangun hunian untuk kelas menengah apalagi untuk kelas bawah, sama sekali diabaikan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta UU No 20/2011 tentang Rumah Susun, ditetapkan bahwa Pengembang rumah mewah diwajibkan membangun rumah menengah dan sederhana dengan perbandingan 1:2:3. Artinya setiap membangun satu unit rumah mewah harus membangun 2 unit rumah menengah dan 3 unit rumah sederhana. Hal ini juga sudah diatur pada peraturan pelaksanaan dalam Peraturam Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No 10/2012 dan Permenpera No 7/2013 tentang hunian berimbang.

Para pengembang hanya membangun rumah mewah dan eksklusif untuk mengeruk keuntungan yang besar, sehingga saat ini Menteri Perumahan Rakyat terpaksa mengadukan sejumlah pengembang tersebut ke Mabes Polri karena melanggar aturan pembangunan hunian berimbang. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS