Presiden Kita Bergelar Doktor Pertanian

Loading

Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi

WAKTU dijajah Belanda selama 3,5 abad lamanya, kekayaan alam kita dijarah habis-habisan. Rempah-rempah, hasil perkebunan dan bahkan minyak bumi dikuras habis. Bangsa Indonesia kala itu hanya menjadi kuli dan budak para penjajah. Namun Tuhan berkehendak lain. Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengenyam kemerdekaan hingga sekarang.

Sikap politik kebangsaan kita sebagai bangsa yang merdeka sangat clear dan kita mengakui kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dalam konteks kekinian, sikap kita sebagai bangsa tidak boleh berubah. Semangatnya tetap anti terhadap segala macam bentuk penjajahan apapun motifnya, termasuk bila ada upaya yang hendak memperebutkan sumber kekayaan alam dengan alasan demi kepentingan ekonomi global.

Penjarahan yang dilakukan bangsa lain maupun oleh bangsa sendiri dengan tujuan memperkaya diri sendiri dan abai terhadap kepentingan rakyat, bisa dianggap bertentangan dengan semangat konstitusi. Tindakan ini bisa dinilai tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Kita harus pegang teguh nilai-nilai luhur budaya bangsa, berani memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai fora internasional.

Setelah merdeka dan setelah sekian tahun lamanya kita membangun menjadikan negeri ini menjadi bangsa yang unggul, masih jauh dari harapan. KKN masih merajalela dan penegakan hukum lemah. Sifat ini sangat membahayakan dalam mewujudkan Indonesia sebagai nation state maupun dalam rangka mewujudkan konsep welfare state yang kita cita-citakan bersama.

Perilaku KKN dan “melemahkan” penegakan hukum adalah sangat potensial menjadi pintu masuk untuk “menjajah” kembali Indonesia melalui ekonomi. Kedaulatan ekonomi dipertaruhkan karena alasan-alasan pragmatis tidak punya cukup dana dan teknologi. Sektor pertanian akan dibuka untuk asing melalui pola food estate. Seakan pasrah dan tidak percaya diri menjadi bangsa yang unggul di sektor pertanian. Padahal kita punya IPB, cukup banyak punya tenaga ahli dan punya BUMN yang bisa diorganisir untuk membangun food estatenya sendiri.

Presidennya juga bergelar doktor di bidang pertanian, tapi menjadi aneh ketika akan membangun food estate mesti undang modal asing masuk. Kok menjadi salah kaprah cara mengisi kemedekaan ini dan sudah berjanji menghapuskan penjajahan dalam segala bentuknya. Pragmatisme dan transaksional memang sangat membahayakan kalau ditransfomasikan ke dalam sistem manajemen pembangunan ekonomi yang landasannya peri kemanusiaan dan peri keadilan, untuk melindungi segenap bangsa serta memajukan kesejahteraan umum.

Kebijakan seperti itu bisa membangkitkan emosi rakyat karena dapat dinilai ikut merendahkan harkat dan martabat bangsa. Hadir di Forum G-20, APEC, WEF, World Bank, IMF dan WTO hanya sekedar menjalankan fungsi salemanship supaya para pemodal asing menjadi aktor utama dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.

Karpet merah digelar untuk mereka, karpet “bekas” digelar untuk para wirausahawan lokal. Ke depan kehandalan wirausahawan nasional harus diberi peran yang besar untuk mengelola sumber daya ekonomi nasional agar negeri ini mempunyai kedaulatan ekonominya. Ada ketidak adilan yang parah di negeri ini,yaitu layanan perbankan. Bank mengambil dana murah dari rakyat, tetapi dijual kembali ke masyarakat dengan harga yang mahal hanya dengan alasan inflasi tinggi dan biaya operasional tinggi sehingga net interest marginnya dibuat tinggi yang akibatnya para wirausahawan harus memikul bebanya yang menjadi high cost. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS