Tanggul Jebol dan Jalan-jalan Cepat Rusak Perlu Diaudit

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

MUTU infrastruktur di Jabotabek tergolong buruk, hal itu terbukti dari kondisi tanggul dan jalan-jalan yang rusak parah pada saat musim hujan akhir-akhir ini. Banyak tanggul jebol seperti di beberapa titik Kanal Banjir Barat di Jl Latuharhari dan di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, tanggul Sungai Ciliwung di Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan, tanggul Sungai Sekretaris di Jl Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, maupun yang terbaru Selasa (28/1) jebolnya tanggul Sungai Cipinang di Kampung Makassar, Jakarta Timur yang mengkhawatirkan penduduk.

Selain tanggul jebol, jalan-jalan pun berlobang-lobang dan gorong-gorong juga banyak yang rusak. Kerusakan jalan yang cukup parah terjadi di salah satu jalur utama di Jakarta, yakni di Jl S Parman dan Jl Gatot Subroto. Demikian pula kerusakan jalan reguler dan jalan lingkar TB Simatupang, termasuk gorong-gorong yang jebol. Di Tangerang Selatan lebih parah lagi, seperti di Jl Otto Iskandar Dinata, Jl Raya Siliwangi, Jl Raya Puspitek, Jl Raya Serpong dan sejumlah ruas jalan lainnya. Di kota dan kabupaten Bekasi, terdapat pula banyak kerusakan jalan dan berlobang-lobang yang membahayakan lalu lintas.

Mengapa hal itu terjadi, karena pengawasan pelaksanaan pembangunan yang kurang. Yang jelas, standar bangunan sangat rendah, tidak sesuai dengan bestek atau spesifikasi. Bukan rahasia lagi bahwa kontraktor suatu proyek bisa beranak-pinak sub-sub kontraktor yang masing-masing pihak harus pula mengambil keuntungan. Sehingga, jatuhnya nilai proyek ke lapangan, tinggal sisa-sisanya. Hal ini sulit dikontrol, kalau bukan oleh tenaga ahlinya. Praktik yang sama juga terjadi pada pembangunan tanggul dan pintu-pintu air.

Mengenai kondisi tanggul dan pintu air, praktisi tata kelola air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali kepada wartawan mengatakan, sampai sekarang seluruh tanggul dan pintu air di DKI Jakarta belum pernah diaudit mengenai spesifikasi bahan, spesifikasi konstruksi, maupun penuaan dan kekuatan alam yang merusak bangunan. Padahal seharusnya sejak infrastruktur dibangun, dipelihara, direnovasi, sampai dibongkar dan dibangun lagi yang baru, harus ada catatan dari audit yang dilakukan.

Dengan tegas ia mengatakan, tidak ada catatan satu pun mengenai usia pakai dan kekuatan tanggul-tanggul serta pintu air di seluruh Jakarta. “Yang dilakukan Dinas dan Kementerian Pekerjaan Umum, hanya tambal-sulam. Peristiwa dahsyat jebolnya tanggul Situ Gintung Ciputat bulan Maret 2009, tidak membuat kedua instansi ini melakukan audit,” katanya.

Dikatakan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2012, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, sebenarnya sudah diatur standar bahan dan konstruksi tanggul yang akan dibangun. Namun menurut pengamatannya, tidak satu pun tanggul dan pintu-pintu air di Jakarta yang memiliki spesifikasi sesuai PP No 38 tersebut. Yang mengerjakannya memang kontraktor, tetapi tanggung jawab dan pengawasannya ada di tangan Dinas dan Kementerian PU.

Secara terpisah, Budi Santoso, Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Bidang Penyelesaian Laporan/ Pengaduan mengatakan, pihaknya banyak menerima pengaduan masyarakat tentang buruknya infrastruktur, terutama pembangunan jalan. Pengaduan itu jadi terbukti saat banjir sekarang ini, banyak ruas jalan yang cepat rusak dan bahkan terputus. Secara kasat mata, perbaikan infrastruktur vital, seperti jalan dan jembatan, sering terkesan tambal sulam.

Oleh karena itu, katanya, ORI membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengadukan semua masalah infrastruktur. Apalagi kalau masyarakat memiliki fakta atau data tentang ketidaktepatan standar ataupun prosedur pembangunan infrastruktur yang bisa berdampak negatif selama masa proyek dan saat setelah difungsikan.

Sementara itu, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, ICW, Firdaus Ilyas mengatakan, selama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum pernah melakukan pemeriksaan keuangan untuk proyek infrastruktur di Jakarta. Demikian pula pengadaan barang dan jasa terkait proyek infrastruktur, cenderung tertutup.

Dikatakan, proyek-proyek infrastruktur, ditengarai dikerjakan melalui pola subkontraktor berjenjang, bahkan sampai tiga kali, sehingga mereduksi nilai proyek yang berdampak pada kualitas infrastruktur yang rendah. Untuk itu, Firdaus Ilyas menyarankan, BPK perlu melakukan audit terhadap proyek-proyek infrastruktur. Audit dirasakan penting, karena peluang penyimpangan proyek yang sifatnya khusus dan teknis, cukup besar. Pola tambal sulam di banyak ruas jalan dan tanggul yang rawan jebol, menunjukkan kualitas pekerjaan sejak awal tidak baik.

Memang, pembangunan infrastruktur tergolong rawan penyelewengan, baik dari sisi bahan maupun konstruksi. Seperti pelapisan batu, pasir dan aspal yang dikurangi dari spesifikasi, susah untuk diawasi publik yang awam. Padahal, pengurangan lapisan bahan untuk jalan berkilo-kilo meter akan memberikan keuntungan yang cukup besar pada kontraktor atau pemborong. Penyelewengan ini baru terlihat kalau jalan sudah rusak akibat beban yang tidak mampu didukung, ataupun akibat banjir seperti saat ini.

Berlomba dengan Hujan

Akibat banyak jalan yang rusak di Jakarta, Dinas PU DKI mengakui terpaksa melakukan perbaikan sendiri, berlomba dengan hujan. Artinya, pekerjaan dilakukan dikala hujan tidak turun. Kepala Dinas PU DKI, Manggas Rudy Siahaan baru-baru ini menjanjikan, dalam tujuh hari akan memperbaiki semua jalan yang rusak di Jakarta. Katanya, perbaikan jalan itu akan menggunakan konstruksi beton bermutu tinggi.

Juaini, Kepala Bidang Pemeliharaan Jalan Dinas PU DKI mengatakan, persoalan terberat yang mereka hadapi di lapangan, adalah mencari waktu perbaikan jalan yang harus berkejaran dengan hujan.”Petugas perbaikan jalan bekerja setiap saat, ketika cuaca cerah,” katanya ketika Gubernur Jokowi terjun langsung mengawasi perbaikan di lapangan, pekan lalu. “Kami dapat memperbaiki 30 ruas jalan dalam dua hari cerah, ketika tidak ada hujan. Kami memprioritaskan kerusakan jalan di tempat yang paling parah dan membahayakan keselamatan pengguna jalan,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Jokowi mengakui, walaupun saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menerapkan sistem belanja elektronik, praktik penyimpangan masih bisa terjadi. Sebab, di sejumlah ruas jalan, kerusakan terlalu cepat terjadi dari toleransi waktu yang semestinya.

“Sistem belanja elektronik sudah bagus, tetapi harus dicek di lapangan. Bisa saja yang seharusnya bahan yang dibutuhkan kualitas A, tetapi malah disediakan bahan dengan kualitas B. Butuhnya bahan dengan KW1, tetapi diberi bahan KW3. Dari mana bisa mengetahui, jika tidak dari pengawasan lapangan,” ujarnya dengan nada bertanya. Di sinilah penting pengawasan.

Gubernur mengakui, memperbaiki jalan di kala musim hujan, tantangannya memang berat. Akibat guyuran hujan, kekuatan jalan tidak bertahan lama. Namun untuk jalan yang rusak dalam hitungan hari, perlu dicek penyebabnya.

Khusus kerusakan tanggul sungai maupun kanal, adalah tanggung jawab Kementerian PU. Sehingga, mengenai adanya potensi kerusakan tanggul, menurut keterangan dari Pempro DKI, sebenarnya Dinas PU DKI sudah menyampaikannya usai banjir besar pada bulan Januari 2013. Namun, tidak ada respons konkret dari Kementerian Pekerjaan Umum, selaku pengelola tanggul Sungai Ciliwung maupun tanggul Kanal Banjir Barat. Kanal-kanal besar dan sungai-sungai memang di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian PU, sehingga kerusakan tanggul dan normalisasi sungai bukan tanggung jawab pemerintah daerah untuk memperbaiki atau melaksanakannya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS