Transportasi Publik Jakarta Semakin Buruk

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

HINGGA saat ini, layanan transportasi publik masih menjadi masalah besar di Jakarta. Untuk itulah calon-calon Gubernur yang secara resmi ditetapkan 13 Maret ini, haruslah memprioritaskan programnya untuk menyelesaikan masalah besar itu. Jakarta sudah amat ketinggalan dari Kuala Lumpur, Bangkok, apalagi Singapura dan Tokyo di Jepang. Adakah di antara calon kuat gubernur mendatang, seperti Fauzi Bowo, Faisal Basri, Joko Widodo atau Alex Nurdin, mampu merealisasikannya?

Sebagaimana kota-kota besar di negara tetangga, yang diprioritaskan adalah pembangunan transportasi umum untuk menjamin kelancaran mobilitas penduduknya. Yakni berupa angkutan kereta api massal yang bebas hambatan dan tidak terlalu memakan lahan yang lebar, disinergikan dengan layanan transportasi umum, berupa angkutan bus besar, bus sedang dan angkot kecil, sesuai jaringan jalan dalam tata ruang perkotaan. Penyediaan transportasi umum juga harus diupayakan terjadwal, guna memberikan kepastian pelayanan bagi penumpang.

Hingga saat ini masalah angkutan publik di Jakarta, bukannya bertambah baik, tetapi bahkan semakin buruk. Angkutan lama seperti bus besar, bus sedang maupun angkot-angkot kecil, dibiarkan semrawut. Ketiga tipe atau moda angkutan penumpang umum milik swasta ini, sama sekali tidak ada sinkronisasi pelayanan, bahkan seolah-olah liar dan saling berebut nafkah di ”rimba raya” Jakarta ini.

Standar Pelayanan Minimum (SPM) bus Transjakarta yang milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun, belum bisa ditetapkan. Padahal, ini penting sebagai pegangan dan acuan kinerja bagi Dinas Perhubungan DKI selaku regulator dan Badan Layanan Umum Transjakarta sebagai operator, serta alat kontrol bagi penumpang dan instansi lain yang berkepentingan.

Pencanangan SPM ini memang merupakan ide dari Gubernur Fauzi Bowo agar ada acuan yang jelas dan terukur dalam bidang pelayanan angkutan umum, dan menjadi jaminan kualitas pelayanan bagi penumpang. Misalnya, ketersediaan jumlah armada yang terjamin, keteraturan waktu menunggu yang pasti, kenyamanan penumpang dalam bus, jaminan keamanan dari berbagai gangguan, dll. Sehingga, instansi kepolisian pun turut dilibatkan dalam SPM ini.

Angkutan bus Transjakarta memang salah satu moda transportasi publik di DKI Jakarta, yang patut diapresiasi. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, masih banyak kekurangan dan pengelolanya tidak kreatif. Pelayanannya masih berpola konvensional yang jauh dari sempurna, padahal berkaca pada transportasi publik di negara tetangga, haruslah dilaksanakan secara kreatif, modern dan inovatif.

Yang terlihat selama ini, semua koridor bus Transjakarta, dipaksakan secara simultan, walaupun di satu koridor jumlah penumpang berjubel, karena armadanya yang sangat kurang, sementara di koridor lainnya masih sepi penumpang. Ada separator busway yang porak poranda diterjang kendaran lain, dan masalah tangan-tangan jahil yang melakukan pelecehan seksual terhadap wanita penumpang, serta tindak kriminalitas lainnya. Sehingga, tujuan semula untuk menarik para pengguna mobil pribadi ke angkutan publik bus Transjakarta, tidak tercapai.

Pembangunan MRT

Selain armada bus Transjakarta, Pemprov DKI pernah juga menjalin kerja sama dengan swasta membangun transportasi umum berupa angkutan kereta layang monorel. Ada rencana pelayanan jalur biru, jalur merah dan jalur tengah. Tiang-tiang penyangga sudah dibangun, tapi tidak diteruskan lagi. Gubernur Fauzi Bowo tidak mampu melanjutkan proyek monorel yang dirintis Gubernur Sutiyoso ini.

Terakhir sudah direncanakan angkutan massal kereta api, dan katanya, desainnya sudah selesai akhir bulan April tahun lalu. Biaya pembangunan angkutan massal atau Mass Rapid Transit (MRT) Lebak Bulus – Kampung Bandan, Jakarta Kota ini, sudah tersedia berupa pinjaman dari Japan International Cooperation Agency. Dibangun dalam dua koridor. Yakni, koridor I Lebak Bulus-Dukuh Atas sepanjang 14,5 kilometer yang direncanakan konstruksi fisiknya selesai tahun 2012 ini.

Namun, hingga hingga kini persiapan lahan dan sosialisasi kepada masyarakat pun belum dilakukan. Bahkan, puluhan warga Lebak Bulus-Sisingamangaraja berunjuk rasa memprotes pembangunan MRT di wilayahnya berupa jalan layang. Memang, MRT koridor I dari Lebak Bulus, Jalan Sisingamangaraja, hingga Senayan, Jakarta Selatan, direncanakan jalan layang. Sedangkan dari Senayan hingga Dukuh Atas, Jakarta Pusat, berupa terowongan di bawah tanah.

Rencananya, setelah proyek MRT Koridor I selesai, akan dilanjutkan MRT Koridor II dari Dukuh Atas ke Kampung Bandan, Kota sepanjang 7,2 kilometer. Kemudian direncanakan pula membangun MRT Koridor III dari Jakarta Timur ke Jakarta Barat. Harapan warga, pembangunan transportasi publik inilah yang perlu diprioritaskan oleh Gubernur terpilih nanti, dalam program kerjanya. Jangan hanya janji-janji lagi.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS