Berlakukan Negara Dalam Keadaan Darurat Korupsi

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

MENGAMATI kenyataan yang terjadi, sebuah organisasi kemasyarakatan “Satuan Kerja Anti Korupsi” (SKAK) mengimbau agar Presiden SBY menyatakan negara dalam keadaan darurat korupsi. Caranya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) termasuk mengenai Asas Pembuktian Terbalik agar pejabat yang kaya secara tidak wajar dapat dituntut menjelaskan asal-muasal kekayaannya.

Selain itu, SKAK juga mendesak agar Perpu itu mengatur hukuman mati bagi koruptor dan juga penyitaan aset koruptor dan keluarganya yang berasal dari kejahatan dimaksud. “Perlu tindakan tegas tanpa pandang bulu bagi koruptor yaitu hukuman mati, penyitaan aset agar mereka miskin serta menjadikan koruptor dan keluarganya sebagai warga negara kelas dua,” kata Koordinator SKAK Bob R Randilwae (BR) menanggapi tubasmedia.com beberapa waktu lalu di Jakarta.

Aktivis anti korupsi lainnya, Ikhsan Abdullah pun mengkritisi Kepolisian dan Kejaksaan agar membersihkan institusinya dari makelar kasus dengan cepat. Jalus hukum merampas harta kekayaan para koruptor dinilai justru sangat manusiawi karena hakikatnya adalah untuk mengembalikan kemanusiaan rakyat pembayar pajak yang hidupnya telah dimarjinalkan para koruptor. Dan lagi pula para koruptor justru lebih takut dimiskinkan ketimbang dihukum penjara.

“Jadi sebagai efek jera para koruptor itu harus dimiskinkan. Nggak percaya coba saja tanyakan langsung kepada Gayus Halomoan Tambunan, Muhamad Nazaruddin, Hari Sabarno, Paskah Suteja dan Nunun Nurbaeti Dorojatun, apa yang mereka takutkan ya kembali miskin. Sebab bagi para koruptor, hukuman badan dijebloskan dalam penjara, tidak punya pengaruh apa-apa untuk tidak mendongakkan kepala sembari melempar senyum di hadapan publik. Kalau dimiskinkan ampun ampunan koruptor itu,” ujar BR menanggapi tubasmedia.com.

Makanya, ancaman hukuman badan tidak akan menggetarkan nyali koruptor. Karena pengerat uang negara itu tahu pasti, pada gilirannya majelis hakim selalu menghukum lebih ringan dari tuntutan jaksa kemudian dikurangi lagi potong tahanan sejak distatuskan tersangka. Remisi yang dihadiahkan kepada para koruptor juga semakin mendongakkan kepala para koruptor. Akibatnya hukuman badan tidak akan menimbulkan efek jera.

Salah satu koruptor yang masih dalam status buronan Kejagung sejak lama, mantan komisaris Bank Harapan Sentosa (BHS), Eko Edi Putranto (EEP). Ia adalah terpidana dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 2,6 triliun. EEP dijatuhi pidana 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta dan membayar uang pengganti Rp1,950 triliun. Dia dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman oleh PN Jakarta Pusat pada 22 Maret 2001, namun belum dieksekusi karena buron. EEP putra Komisaris BHS, Hendra Rahardja (HR). Ayahnya ini juga terpidana buron dan wafat di persembunyiannyan di Australia. HR kabur pada saat kasusnya disidik sehingga persidangannya pun digelar secara in absentia. Akibatnya HR tidak dapat dieksekusi sesuai putusan PT. DKI tahun 2002. Sama seperti pada publikasi koruptor buron sebelumnya yaitu Sudjiono Timan, Kejagung juga memberikan rincian alamat dan identitas EEP untuk memudahkan masyarakat mengenali.

EEP pria berusia 39 tahun itu digambarkan sosok setinggi 170 cm warna kulit putih, wajah oval, mata sipit dengan rambut hitam lurus. Alamat terakhir di Jln. Wijaya Chandra V No 21, Jaksel. Keterlibatan EEP dalam kasus korupsi ini menyetujui kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata fiktif. Kredit tersebut dilanjutkan lembaga pembiayaan kepada perusahaan grup melalui penerbitan giro tanpa proses administrasi kredit yang tercatat.

“Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup,” urai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung Andhi Nirwanto menanggapi tubasmedia.com.

JAM Pidsus Kejagung kembali mengingatkan, perburuan koruptor melalui penayangan data dan identitas terpidana yang buron itu diharapkan melibatkan masyarakat umum. “Bila ada yang melihat koruptor buron itu, masyarakat dapat melapor ke Kejaksaan terdekat atau menelepon ke Kejagung di nomor 021-723 6510,” ujarnya.

Namun hingga kini KPK, Kepolisian dan Kejaksaan masih terus tersandera tipu muslihat para buronan lainnya seperti Nunun Nurbaeti, Neneng (suami Muhamad Nazarudin), Eddy Tanzil kasus Bank Bapindo, Maria kasus pertambangan di NTT. Para buronan ini mungkin saja dari persembunyiannya terus mentertawai ketiga institusi penegak hukum itu. Sebaliknya para aktivis itu juga mengimbau agar jaksa mau pun hakim tidak perlu takut melakukan terobosan untuk hukuman mati atau memaksa para terdakwa korupsi membuktikan asal muasal harta kekayaannnya di ruang sidang pengadilan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS