Danau Toba, Riwayatmu Dulu

Loading

Oleh: Sahat Marojahan Doloksaribu

ilustrasi

ilustrasi

JIKA kita ingin menikmati keindahan Danau Toba, pandanglah dia dari kejauhan atau jarak yang cukup. Danau yang tidak ada duanya di dunia itu, begitu memesona. Indah tiada tara, entah dari sisi barat, timur, utara atau selatan, atau mungkin juga pandangan dari udara. Tapi, kalau mau tahu betapa rusaknya danau itu, lihatlah dari dekat. Masuklah ke sekitar hutan yang merupakan daerah tangkapan air danau. Telusuri pantainya, terutama di sekitar Kota Parapat, kota-kota kecil lain, dan kawasan permukiman, hotel-hotel di sekitar danau atau pergi ke tempat-tempat dari mana orang dapat memandang keindahan danau.

Danau kaldera terbesar di dunia ini memang sedang “sakit”, karena ulah manusia di sekitar atau di tempat lain yang ikut menentukan kebijakan kehidupan danau ini. Beberapa tahun terakhir, tidak lagi banyak pengunjungnya. Wisman yang dulu berombongan datang dari Medan untuk menikmati keindahan dan keasriannya, sekarang hampir tidak ada lagi. Kalau dulu menjadi salah satu tujuan wisata terpenting sesudah Bali, maka sekarang masyarakat lokal pun enggan berkunjung ke sana. Mungkin orang lokal dari kota dan daerah lain di Sumatera Utara pun sudah tidak lagi mengagendakan kunjungan atau wisata ke Danau Toba.

Tempat wisata di mana pun di dunia ini menawarkan daya tarik. Daya tarik objek wisatanya sendiri dan daya tarik pelayanan ketika kita berwisata. Daya tari alam, tentulah ciptaan alam itu sendiri. Betapa menakjubkan energi bumi yang menciptakan gunung dan lembah, tetapi air mengukir dan menghidupinya sepanjang masa. Daya tarik lain yang dapat ditawarkan adalah kenyamanan, keamanan, dan kemudahan menjangkaunya. Kenyamanan menyangkut keramahtamahan masyarakat lokal, pelayanan penyedia jasa. Keamanan terkait rasa aman selama berwisata, bebas dari gangguan, termasuk ketika harus beristirahat di hotel atau tempat lain. Kemudahan menjangkau tentu lebih pada infrastruktur transportasi, mulai dari kota-kota yang menjadi pintu masuk, terutama Medan.

Ketika tiga tokoh lingkungan hidup asal daerah itu, masing-masing Marandus Sirait, Wilmar Eliaser Simandjorang, dan Hasoloan Manik, mengembalikan penghargaan Kalpataru yang mereka terima beberapa waktu sebelumnya kepada si pemberi, pemerintah, mungkin kita lebih menyadari sekarang betapa pemberian penghargaan oleh lembaga atau badan pemerintah kurang tepat. Ketika pemerintah memelopori pemberian penghargaan atas jasa-jasa luar biasa dari warga untuk memelihara lingkungan, maka muncul tarik-menarik banyak kepentingan pemerintah yang sulit dibayangkan objektif.

Penghargaan bergengsi yang ada sampai sekarang ini umumnya diberikan oleh lembaga non-pemerintah. Pemberian penghargaan oleh pemerintah apalagi dengan birokrasi yang masih belum selesai direformasi sering dipandang tidak bisa lepas atau sulit untuk tidak bertentangan dengan berbagai kebijakan pemerintah itu sendiri. Sejak lama terdengar bahwa penghargaan-penghargaan yang diberikan oleh pemerintah sarat dengan kepentingan pemerintah.

Kedewasaan masyarakat kita pun sekarang makin tinggi atas penghargaan. Jika penghargaan dimaksud tidak lagi sesuai atau tidak konsisten dengan makna penghargaan, maka penghargaan, bahkan yang diberikan oleh lembaga terpercaya sekalipun, karena sebelumnya dianggap objektif, dapat dikembalikan atau ditolak. Sastrawan dan jurnalis senior, Goenawan Mohamad, dan filsuf, Romo Franz Magnis-Suseno, telah melakukan itu beberapa waktu yang lalu. Mereka mengembalikan dan menolak penghargaan dari Freedom Institute.

Jika ketiga Bapak itu mengembalikan hadiah Kalpataru, karena merasa pemerintah tidak lagi konsisten dengan pekerjaan memelihara lingkungan hidup, terutama lingkungan hidup Danau Toba, sesuai dengan makna penghargaan itu, maka kita menghargai sikap mereka dan itu sah saja. Tetapi, tidak hanya sekadar mengembalikan penghargaan, sebab kita butuh makna dan konsistensi sikap dalam pemeliharaan lingkungan yang disuarakan untuk tidak dianggap politisasi. Mereka kini berada di lajur yang benar dan saatnya untuk sungguh-sungguh menunjukkan kepada masyarakat, alternatif pengelolaan lingkungan hidup Danau Toba yang sesuai dengan yang mereka harapkan.

Beberapa Masukan

Pengelolaan Danau Toba dan daerah tangkapan (catchment area) membutuhkan kesungguhan.Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi terlebih-lebih masyarakat yang bersinggungan dengan danau itu. Mengingat air, daerah tangkapan mulai dari hujan, pengaliran hingga menjadi badan danau dan kemudian dialirkan ke sungai dalam siklus hidrologi kawasan. Beberapa faktor penting di sini, antara lain, jenis dan struktur tanah; jenis penutup lahan kawasan yang pada umumnya memiliki kemiringan ekstrem; pertumbuhan dan kegiatan penduduk, dan perubahan tata guna lahan.

Batas-batas kabupaten yang menjadi batas kegiatan pemerintah, sebaiknya diintegrasikan dengan batas-batas lingkungan fisik, kimia dan biologi daerah tangkapan danau. Lingkungan danau adalah lingkungan yang sangat sensitif terhadap perubahan dibandingkan dengan lingkungan air lain. Danau Toba sebagai danau kaldera terbesar di dunia memerlukan pengelolaan yang lebih baik. Evaluasi seluruh kegiatan di kawasan tangkapan dan di badan air danau. Izin penggunaan dan pemanfaatan dan sebaiknya tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi oleh satu Badan Otorita.

Perencanaan pembangunan dan perizinan semestinya terintegrasi di Badan Otorita. Pemerintah dan masyarakat yang akan memanfaatkan keindahan dan potensi danau yang lain dengan demikian tidak boleh secara sepihak melakukannya, tanpa mempertimbangkan kepentingan danau dan masyarakat yang lebih besar. Harus diingat bahwa danau dan kawasan daerah tangkapannya adalah satu kesatuan atau sistem lingkungan. Saatnya dibentuk Badan Otorita Danau Toba yang melibatkan pemda-pemda di sekitar danau dan pemerintah provinsi dan pusat terkait, masyarakat melalui kelompok-kelompok yang berkegiatan untuk danau, ahli-ahli lingkungan, kemasyarakatan dan lainnya.

Seperti diketahui dan diakui oleh dunia, sifat pembentukan Danau Toba; lingkungan tropis dan badan air yang tertampung di ketinggian itu, mewariskan keindahan dan kekayaan yang luar biasa. Kita berharap ada kesadaran baru untuk memelihara dan mengelola itu, terutama dimulai dengan kepeloporan ketiga Bapak itu, sehingga Danau Toba tetap indah, asri, lestari dengan seluruh potensi kekayaannya. Janganlah dengan kecerobohan mengelola lingkungan hidup Danau Toba seperti sekarang berlanjut. Akhiri itu semua, mulai yang baru. Kita harus yakin bahwa tidak akan ada penyesalan di kemudian hari dengan mengatakan atau menyanyikan Danau Toba riwayatmu dulu. ***

Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Pengembangan Bisnis – Universitas Kristen Indonesia (LPPMPB-UKI), Jakarta

CATEGORIES
TAGS