Ekonomi Jasa Mendominasi Indonesia

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

NAMPAKNYA potensi besarnya jumlah kelas menengah Indonesia yang membelanjakan pendapatannya antara USD 2-20 per hari dan kekuatan belanja konsumsi rumah tangga yang mencapai rata-rata 50% lebih per tahun terhadap PDB telah menstimulasi sektor jasa tumbuh mengesankan dibanding sektor-sektor produksi.

Ini makin memberikan gambaran nyata bahwa pasar dalam negeri yang sangat besar dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa lebih, hidupnya ditopang oleh sektor jasa.

Mari kita lihat satu per satu datanya pada tahun 2016, laju pertumbuhannya masing-masing: listrik dan gas (5,39%); air, pengolahan sampah, limbah dan daur ulang (3,60%); konstruksi (5,22%); perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (3,93%); transportasi dan pergudangan (7,74%); akomodasi dan makan minum (4,94%); informasi dan komunikasi (8,87%); keuangan dan asuransi(8,90%); real estate (4,30%).

Atau total rata-rata 5,88% selama tahun 2016. Ini memberikan indikasi bahwa pemerintah belum sepenuhnya berhasil menggeser kekuatan ekonomi konsumsi menuju ekonomi produksi.

Pertumbuhan 9 sektor jasa tersebut dengan laju pertumbuhan 5,88% masih jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan 3 sektor produksi utama, pertanian, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; dan industri pengolahan, yang rata-rata tumbuh 2,87%.

Kita bisa memahami kondisi perekonomian dalam negeri yang posturnya seperti itu. Dan di peta dunia, dari awal Indonesia selalu dilihat dalam dua perspektif utama, sebagai pusat pasar potensial dan sebagai wilayah pertumbuhan investasi yang menarik perhatian pebisnis global.
Tapi dari data-data tersebut nampaknya Indonesia sebagai pangsa pasar, lebih mempunyai daya tarik kuat mengingat potensi belanja masyarakat porsinya terhadap PDB mencapai 50% lebih. Selain kelas menengahnya sudah mencapai sekitar 60% dari total populasi penduduk.

Investasi di sektor jasa-jasa lebih menarik minat para investor ketimbang memilih investasi di sektor produksi. Struktur ekonomi Indonesia seperti itu postur dan arstekturnya dan berdasarkan hukum pasar, itulah realitas ekonomi yang terbentuk hingga kini.

Dengan kata lain, speed up kebijakan ekonomi yang mampu memberikan kekuatan sektor-sektor produksi harus ditambah agar laju pertumbuhannya bisa berada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Atau memerlukan kepemihakan lebih nyata dalam memberikan perhatian lebih besar kepada upaya pemberdayaan sektor ekonomi produksi. Pembinaan dan pengembangan sektor-sektor ekonomi produksi perlu regulasi khusus, bukan hanya sekedar deregulasi karena ternyata deregulasi yang dijalankan semakin memperkuat tumbuhnya 9 sektor jasa tersebut.

Premis ini memberikan satu keyakinan bahwa nampaknya pembinaan dan pengembangan ekonomi produksi memerlukan intervensi pemerintah yang lebih optimal tanpa harus berkonotasi proteksi atau mengesankan adanya tindakan barrier to en try.

Nampaknya memang tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar sepenuhnya untuk mengembangkan ekonomi produksi di Indonesia. Yang menarik, dari data Indeks Tendensi Bisnis triwulan-I/2017 angkanya rata-rata bagus, di atas 100, baik sektor produksi maupun jasa-jasa.

Apakah mungkin dengan sisa waktu kerja pemerintahan sekarang yang tinggal 3 tahun ini bisa menggeser ekonomi konsumsi menjadi ekonomi produksi sehingga sektor-sektor utamanya mampu tumbuh lebih tinggi dari kinerjanya yang sekarang minimal naik dari 2,87% menjadi 5-6% dalam tiga tahun mendatang hingga akhir tahun 2019.

Jika tidak, Indonesia akan stug in the midlle dan akhirnya sektor jasa-jasa yang akan lebih mampu menjadi mesin pendorong pertumbuhan, yang sayangnya sektor ini tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dibandingkan dengan sektor produksi yang memproduksi barang kebutuhan konsumen maupun keperluan pembangunan.

Kita tunggu langkah afirmasi pemerintah untuk menggenjot sektor pertanian, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; serta sektor industri pengolahan. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS