Gugatan UU MD3 Oleh PDI-P Ditolak MK

Loading

Gedung Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Permohonan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau yang oleh media disebut dengan UU MD3 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Ketua Majelis Hakim MK, Hamdan Zoelva, saat membacakan putusan di gedung MK hari ini mengatakan, “Menolak para pemohon untuk seluruhnya.”

Yang menarik adalah adanya perbedaan pendapat di antara dua hakim konstitusi yaitu Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati. Perbedaan pendapat yang umumnya terjadi di peradilan tingkat tinggi itu biasa disebut dissenting opinion.

Adalah PDI Perjuangan (PDI-P) yang diwakili oleh Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo, serta empat orang lainnya yang mengatasnamakan perseorangan yaitu Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto, yang mengajukan permohonan dengan nomor perkara 73/PUU-XII/2014.

Permohonan dari para pemohon di atas diajukan guna menguji aturan pemilihan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109 Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3. Alasan di balik pengajuan permohonan tersebut adalah bahwa aturan tersebut dianggap merugikan PDI-P selaku pemenang Pemilu 2014 secara konstitusional.

Dengan diberlakukannya UU MD3, maka para pemangku jabatan di parlemen akan dipilih langsung oleh anggota DPR. Jabatan yang akan dipilih langsung oleh anggota DPR itu adalah untuk pimpinan DPR, pimpinan komisi, badan legislasi, badan anggaran, badan kerja sama antar-parlemen (BKSAP), mahkamah kehormatan dewan, dan badan urusan rumah tangga (BURT).

Perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan lain dalam UU MD3 dianggap oleh MK tidak bertentangan dengan konstitusi. Dan memilih pimpinan di parlemen, menurut MK merupakan kewenangan anggota DPR itu sendiri.

Dalam sistem presidensial dengan multipartai hal itu dianggap lazim, dan menurut MK yang sangat menentukan dalam pemilihan pimpinan di DPR adalah kompromi antarparpol. “Kompromi dan kesepakatan tidak bisa dihindari,” kata Hamdan.

Tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan UU MD3, MK berpendapat bahwa hal tersebut bukan persoalan konstitusional. Masalah itu dianggap hanya berkaitan dengan tata cara yang baik dalam pembentukan UU.

Pembentukan UU yang tidak mengikuti aturan tata cara pembentukan UU tidak serta-merta membuat UU yang dihasilkanlah yang dianggap inkonstitusional. Jadi bisa saja terjadi bahwa UU yang dihasilkan sesuai aturan, tetapi materinya justru bertentangan dengan UUD 1945. Dan sebaliknya UU yang dibuat tidak sesuai aturan justru memiliki materi yang sesuai UUD 1945.

Perubahan UU MD3 yang dilakukan setelah diketahui hasil pemilihan umum, menurut MK juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal itu oleh MK dianggap lazim dilakukan, sebagaimana dalam pembentukan UU MD3 sebelumnya.

Namun MK juga mengingatkan bahwa perubahan UU MD3 yang dilakukan setiap lima tahun sekali tidak membangun sistem yang matang dan akan jadi permainan politik semata. MK sendiri di masa mendatang menyarankan pembentukan UU MD3 tidak dilakukan lima tahun sekali. Hanya apabila benar-benar diperlukan revisi perlu dilakukan. (Rizal Surya Pratama)

CATEGORIES
TAGS