Hak Politik Koruptor Harus Dicabut. Mengapa…?

Loading

Oleh: Marto Tobing

Marto Tobing

Marto Tobing

KETUA Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar (AA) berulang kali menyerukan agar siapa pun yang menyandang jabatan publik yang dipilih oleh rakyat jika tersangkut kejahatan korupsi hak politiknya harus dicabut. Mengapa..?

Menurut hakim agung yang dikenal sebagai hakim non kompromis terhadap pelaku kejahatan luar biasa itu, bahwa pencabutan hak politik bagi pemangku jabatan politik adalah untuk mencegah para koruptor itu kembali mencalonkan diri.

“Karena ada beberapa koruptor yang kembali terpilih lalu terus dilantik,” tandas AA di ruangan kerjanya, Kamis (18/9) dalam suatu percakapan singkat bersama tubasmedia.com. ”Rakyat sudah memilih, tapi dia koruptor, ini kan ironi demokrasi dan juga merampas hak rakyat yang sudah memilihnya,” ujar AA lagi seraya menjelaskan, bahwa pencabutan hak politik dikhususkan hanya untuk koruptor yang menggunakan jabatan publiknya untuk transaksional.

Penerapan hukuman akan beda jika kejahatan korupsi itu dilakukan sebagai korupsi biasa oleh pejabat yang bukan pada jabatan publik, maka hak politiknya tidak perlu dicabut.

Senada dengan AA, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) mengatakan, pencabutan hak politik seorang terdakwa kejahatan korupsi perlu dilakukan agar mereka yang merupakan pejabat publik tersebut tidak lagi memiliki akses untuk menduduki jabatan publik. Menurut BW, pencabutan hak politik tersebut diharapkan bisa menciptakan efek jera yang lebih tegas.

“Sanksi hukum bertemu dengan sanksi sosial politik diharapkan bisa membuat efek deterent yang lebih kuat dan tegas,” jelas BW menanggapi tubasmedia.com, saat dimintai komentarnya melalui pesan singkat, Jum’at (19/9).

Menurut BW, seorang pejabat publik cenderung menyelewengkan kewenangan yang dititipkan kepadanya dan menggunakan kewenangannya untuk kemaslahatan orang banyak. Ditegaskan, pejabat publik yang korup cenderung menggunakan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. “Sehingga tidak hanya harus dihukum atas perbuatannya tapi dibuat tidak memiliki akses lagi untuk menduduki jabatan publik,” jelasnya.

Sejauh ini KPK kerap menuntut majelis hakim untuk mencabut hak politik terdakwa kejahatan korupsi yang pada akhirnya terbukti distatuskan sebagai koruptor. Mereka yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa KPK agar dicabut hak politiknya antara lain, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen (Pol) Djoko Susilo (DS), mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM), Gubernur Banten Non Aktif Ratu Atut Chosiyah (RAC) serta mantan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum (AU).

Namun tuntutan Jaksa KPK itu tidak pernah dikabulkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Pencabutan hak politik DS baru dikabulkan di tingkat banding kemudian dikuatkan di tingkat kasasi MA. Sedangkan LHI baru dikabulkan tuntutan pencabutan hak politiknya di tingkat kasasi MA. Pastinya, KPK mengapresiasi putusan MA atas kejahatan korupsi dan pencucian uang terkait kuota impor daging sapi atas nama terdakwa LHI dan sahabatnya Ahmad Fathanah (AF).

Dalam putusan, MA memperberat hukuman LHI menjadi 18 tahun penjara dari 16 tahun penjara. Sementara AF hukumannya tidak berubah tetap 16 tahun penjara karena kasasinya ditolak MA. Menanggapi putusan MA tersebut, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (BM) melalui pesan singkatnya Jumat (19/9) kepada tubasmedia.com mengatakan putusan MA tersebut sangat kental berpihak kepada kaum tertindas.

Menurut BM putusan kasasi MA atas kejahatan LHI dan AF memiliki karakter yang sama. Kedua terdakwa ditempatkan sebagai aktor dalam sebuah kasus korupsi politik. “Fatanah sebagai swasta menyuap LHI sebagai anggota DPR dan Presiden PKS. Kasusnya memiliki dampak serius yakni dirobeknya daulat rakyat yang diakui langsung dalam UUD 1945 Pasal 2 Ayat 1,” jelas BM.

Selama ini, para peternak cenderung dipinggirkan karena sistem impor daging sapi yang membela kepentingan pihak asing. Kondisi ini menjadi ironi karena pihak swasta dapat dengan mudah merusak kebijakan pejabat publik. Selaku anggota DPR, kejahatan LHI dinyatakan terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. LHI juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian diantaranya yaitu senilai Rp 1,3 miliar telah diterima melalui AF.

Menurut AA selaku Ketua Majelis Kasasi perkara LHI ini, kejahatan sebagai anggota DPR dengan melakukan hubungan transaksional LHI telah mencederai kepercayaan rakyat. Perbuatan LHI itu dianggap menjadi ironi demokrasi. Sebagai wakil rakyat, LHI tidak melindungi dan memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional. Sedangkan dalam perkara AF, kasasi Jaksa KPK termasuk kasasi yang diajukan pihak AF oleh MA keduanya ditolak. Dengan demikian sahabat LHI itu tetap divonis 16 tahun penjara sesuai putusan banding PT DKI Jakarta. AF juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar atau subsider 6 bulan kurungan. ***

CATEGORIES
TAGS