Hakim Tipikor Masih Bermurah Hati Koruptor Nggak Bakal Kapok

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

SELAMA hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) masih tetap bermurah hati terhadap para koruptor, rasa-rasanya tindak kejahatan luar biasa itu akan semakin sulit diberantas, bak “patah tumbuh hilang berganti”, koruptor nggak bakal kapok. Benar, hampir setiap berdekatan waktu, para terdakwa korupsi divonis hukuman penjara> Namun, hukuman yang diterapkan itu rupanya belum mampu menimbulkan efek jera. Kemungkinan penyebabnya hukuman terlalu ringan tentu saja tidak berakibat menakutkan.

Hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap pelaku korupsi yang divonis ringan, selama satu semester tahun 2014, tercatat ada 195 terdakwa korupsi yang dihukum ringan oleh majelis hakim Tipikor. Menurut Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter, selama satu semester pihaknya memantau sebanyak 210 perkara korupsi dengan terdakwa 261 orang yang telah diadili baik di Pengadilan tingkat Pertama, Pengadilan tingkat Banding mau pun Pengadilan tingkat Kasasi bahkan Peninjauan Kembali. “Dari 261 terdakwa korupsi mayoritas 242 orang divonis bersalah dan hanya 19 terdakwa dinyatakan bebas atau lepas. Namun secara keseluruhan koruptor divonis ringan,” kata Easter menanggapi Tubas di Jakarta, Minggu (10/8).

Easter menjelaskan para terdakwa itu dihukum dalam rentang waktu satu sampai empat tahun yang dikategorikan sebagai vonis ringan, 43 terdakwa divonis sedang dan hanya 4 terdakwa divonis berat oleh hakim Tipikor termasuk didalamnya satu terdakwa divonis seumur hidup. Menurut dia hukuman ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2013 dominan hukumannya untuk koruptor kategori ringan sebanyak 232 terdakwa, kategori sedang ada 40 terdakwa dan kategori berat (diatas 10 tahun ) sebanyak 10 terdakwa. “Jadi rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor semester 1 tahun 2014 itu 2 tahun 9 buan penjara,” ujarnya. Menurut Easter, pihaknya membagi tiga kategori hukuman terhadap pelaku korupsi yakni vonis ringan rentang waktu 1 sampai 4 tahun. Kedua vonis sedang 4 tahun hingga 10 tahun. Ketiga vonis berat itu lebih dari 10 tahun pidana penjara.

Tapi yang pasti, upaya pemberantasan korupsi belum menyeluruh sampai pada elite-elite di tingkat pusat baik dari unsur eksekutif mau pun unsur legislatifnya. Artinya penegakan hukum masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Pantauan yang dilakukan ICW pada semester pertama 2014 mengungkapkan, sebanyak 101 pejabat daerah menjadi terdakwa Tipikor. Maka jika dilihat dari hasil pemantauan pada semester 1 pelaku yang paling banyak dijerat Pengadilan Tipikor adalah pejabat atau pegawai di lingkungan Pemda baik kabupaten, kotamadya, provinsi tercatat sebanyak 101 terdakwa, diikuti swasta 51 terdakwa.

Menurut Koordinator ICW Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Emerson Yuntho, posisi ketiga diraih pegawai negeri atau staf BUMN atau BUMD dengan 33 terdakwa kemudian diikuti 12 anggota DPR dan DPRD. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pantauan yang dilakukan ICW pada semester pertama tahun 2012 dan tahun 2013 dimana pejabat daerah mendominasi. Pada 2012 sebanyak 48 terdakwa berasal dari lingkungan Pemda. Kemudian 35 terdakwa dari unsur DPR dan DPRD. Tahun 2013 sebanyak 60 terdakwa berasal dari unsur Pemda, 18 dari swasta dan 6 dari unsur parlemen.”Ini berarti pegawai atau pejabat di lingkungan Pemda adalah aktor yang paling banyak terjerat sepanjang semester 1 tahun 2012, 2013 dan 2014. Di posisi kedua ditempati kalangan swasta.

Masih belum optimalnya pemberantasan korupsi dalam tiga tahun terakhir juga terungkap dari pemidanaan yang tidak konsisten . Banyak pelaku yang divonis ringan dengan skala hukuman 1-4 tahun penjara kendati kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatannya sangat signifikan. Vonis bebas mengalami kenaikan lebih tiga kali lipat dari tahun 2013. Padahal dari semester pertama 2012 ke semester pertama tahun 2013 vonis bebas mengalami penurunan.

Pada tahun 2012 sebanyak 35 terdakwa divonis bebas pada tahun 2013 sebanyak 20 terdakwa yang divonis bebas. Pemberantasan korupsi yang belum menimbulkan efek jera juga tersingkap dari masih lemahnya upaya pemulihan keuangan negara. Dari 210 kasus yang dipantau tahun 2014 terdapat 185 perkara hingga merugikan keuangan negara total Rp 3.863 triliun dan US$ 49 juta. Hanya 87 perkara dari 185 perkara yang diputus untuk membayar uang pengganti dengan total Rp 87,04 miliar plus US$ 5,5 juta. Ini artinya hanya sekitar 2,25 persen kerugian negara tergantikan dari 185 perkara korupsi yang terpantau sejak Januari hingga Juni 2014. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS