Harga Diri Itu Mahal

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

TOPIK ini dipilih untuk memberikan ilustrasi tentang apa yang terjadi dalam kasus dugaan korupsi simulator SIM di tubuh Polri. Sebelum turun “fatwa” presiden, jajaran teras Polri sepertinya tidak rela kalau kasusnya ditangani oleh KPK, karena proses penyelidikan dan penyidikan telah lebih dulu ditangani oleh penyidik Polri.

Demikian sebaliknya, KPK menganggap institusinya yang lebih berwenang menangani kasus ini. Tarik ulur itu ketika masuk ke ranah publik menjadi gegeran. Argumentasi yuridis semua diungkapkan, arogansi kekuasaan semua mengedepan dari dua pihak yang “berseteru”.

Sampai akhirnya presiden mengeluarkan “fatwa”-nya pada Senin, 8 Oktober 2012, malam dari Istana Kepresidenan. Salah satu poin, kasus korupsi simulator SIM ditangani KPK sepenuhnya. Sekarang sudah tanggal 22 Oktober 2012, berarti telah 14 hari berjalan pidato yang terkait dengan korupsi simulator belum juga diserahkan oleh Polri ke KPK dengan berbagai alasan teknis yuridis yang bagi orang awam pasti tidak banyak tahu.

Rapat-rapat koordinasi teknis terus berjalan, tetapi lagi-lagi sebagai orang awam terus kepikiran, sulit amat sih wong tinggal serah terima saja mesti dibahas berkali kali. Dokumen, alat bukti, BAP lengkap, serahkan ke KPK, kan semua beres. Maaf, ini opininya orang awam. Pak presiden, tanyain dong dan tagih ke Kapolri.

Kok lelet banget sih aparat Anda “berbelit-belit” untuk melakukan serah terima penanganan perkara. Sanggup atau tidak sanggup untuk menyerahkannya lapor dong ke saya, jangan diputar-putar nggak karuan. Laporkan apa masalahnya. Saya ini sedang butuh legacy dalam pemberantasan korusi, petunjuk konkret sudah saya sampaikan tanggal 8 Oktober 2012 dan clear. Rakyatku semuanya mendukung atas fatwa yang saya sampaikan itu, tapi sampeyan muter-muter nggak karuan. Sudah dua minggu belum beres-beres.”

Inilah secara imajinatif opini yang menyampaikan uneg-uneg mengapa penanganan kasus korupsi simulator belum diserahkan Polri ke KPK. Yang bersifat imajiner tadi adalah sekilas pembicaraan antara pemberi fatwa (presiden) dan penerima fatwa (Kapolri). Imajinasi itu, maaf diungkapkan seperti itu, karena tradisi dalam birokrasi, hubungan kerja antara atasan dan bawahan dapat berlangsung dengan mekanisme check and re-check, dan biasanya dilakukan secara lisan melalui telepon atau SMS atau face to face.

Keputusan Penting

Pak Kapolri, Pak Kabareskrim, rakyat menunggu keputusan penting dari bapak-bapak. Jangan sampai harus menunggu lama serah terimanya. Dan jangan sampai pula rakyat membuat penilaiannya sendiri yang mengesankan seolah-olah Bapak Kapolri alot melaksanakan fatwa presiden. Tapi, percayalah serah terima itu pasti akan segera terjadi agar korupsi simulator SIM bisa segera ditangani oleh KPK.

Demi harga diri, demi korps memang berat memikul beban ketika kasus korupsi menimpa keluarga inti dan keluarga besar Polri. Kita tetap mendukung Polri sebagai institusi penegak hukum. Tapi, kalau di tubuh lembaga penegak hukum ada oknum yang melakukan kesalahan, baik di lingkungan Polri, Kejagung, maupun KPK, semuanya harus diperlakukan sama di depan hukum, karena negara kita adalah negara hukum sesuai UUD 1945.

Sebagai orang timur, kita paham dan maklum bahwa harga diri itu penting dan juga mahal berapa pun nilainya. Tapi, ketika kita berbicara di ranah hukum, sikap kearifan kita juga harusnya muncul agar setiap perbuatan yang menimbulkan akibat hukum harus siap dihadapi sampai keputusan benar-salah di muka hukum bersifat final. Kalau benar, berarti tidak kena hukuman dan kalau terbukti salah maka harus siap dihukum.

Ranah harga diri dan reputasi mau tidak mau harus tertenggelamkan karena memang seseorang telah dinyatakan bersalah di muka hukum dan peradilan. Apa mau dikata, itu risiko yang harus dihadapi oleh siapa pun. Ini menjadi catatan dan pelajaran bagi kita bahwa sebagai manusia pasti butuh harga diri, dan tidak satu pun di antara manusia rela harga dirinya terinjak-injak. Tidak jarang terjadi ketika harga diri itu tercabik-cabik maka akal sehatnya menjadi terganggu dan bisa seketika sikap emosinya yang membara dan kemudian bertindak secara tidak wajar, melakukan perlawanan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kalau semua kita sayang terhadap “harga diri”, mencintai reputasi, senang memuliakan kebenaran dan keadilan, jauhilah perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang melakukan kesalahan besar atau kecil. Tuhan tidak pernah tidur, malaikat yang ditugaskan selalu mencatat segala perbuatan manusia di sepanjang hayatnya tentang kebaikan dan keburukan.

Pesan moralnya adalah go to hell corruption. Sayangi, cintai, dan pelihara harga diri dan reputasi dengan cara menegakkan kebenaran dan keadilan dan selalu berbuat kebajikan.

Pak Kapolri, Pak Kejagung, dan Pak Ketua KPK, ayo sama-sama kita laksanakan pesan moral go to hell corruption. Kepada siapa saja yang sedang berperkara dalam tindak pidana korupsi, baik sebagai tersangka maupun yang sudah diputus dan menjalani hukuman, maka tabahlah. Kalau itu dianggap sebuah risiko, bayarlah risiko itu dengan satu konsekuensi, harga diri terpaksa dikorbankan, yang menurut orang bijak sangat mahal harganya.

Sesudah itu bertobatlah dan seraya memohon ampun atas segala perbuatan dosa yang terlanjur dilakukan. Tuhan Maha Pengampun. Kalau masih dikarunia umur dan sehat, gunakanlah umur panjang itu untuk melakukan kebajikan yang barokah. Jika sempat, tulislah buku selayang pandang tentang “Berperilaku Koruptif” agar bisa dibaca siapa saja sebagai media advokasi dan edukasi dalam rangka menyukseskan progam go to hell corruption di negeri ini. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS