Harga Sembako Membubung Lagi

Loading

Oleh : Sabar Hutasoit

Ilustrasi

SUDAH bukan rahasia umum lagi, setiap menjelang hari-hari besar keagamaan, sebut saja bulan suci ramadhan, harga sembilan bahan pokok (sembako) pasti bergerak naik. Tidak terlalu jelas apa penyebab utamanya. Yang pasti, harga itu terus merambat naik dari menjelang puasa hingga Lebaran tiba.

Jika ditanya kenapa harus naik, jawaban yang sering kita dengar adalah hukum pasar yaitu permintaan naik sementara pasokan jalan di tempat alias tidak naik. Sebenarnya, kalau hanya sekedar naik harga walau menyakitkan bagi masyarakat lapisan menengah ke bawah, masih bisa diatasi, melalui hutang misalnya.

Tapi kalau barangnya hilang dari pasar? Ini lebih menyakitkan lagi. Tidak jarang warga masyarakat tidak bisa menemukan produk tertentu yang dibutuhkan karena tidak ada di pasar. Menghilang ! Lagi-lagi tidak jelas dan tidak transparan kenapa semuanya itu terjadi.

Mungkin kalau cerita ini terjadi pada zaman-zaman penjajahan dahulu kala, kita masih bisa memakluminya sebab segalanya masih terbatas. Apakah itu informasi, alat komunikasi, kegiatan di pabrikan dan sebagainya yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat.

Tapi kalau peristiwa serupa masih terjadi di zaman modern sekarang ini, zaman sputnik dan zaman yang super canggih, rasanya masyarakat awam layak bertanya. Ada apa sebenarnya yang terjadi.

Tidak heran jika ada suara-suara minor yang menuduh pemerintah tidak peduli karena yang jadi korban itu adalah warga lapisan bawah. Pasalnya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan seharusnya dapat mengatasi gejolak kenaikan harga sembako dengan rata-rata yang kini mencapai di atas 40 persen jelang ramadan ini.

Kenapa sih tidak ada langkah konkret untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok itu? Nah, ini disebut-sebut membuktikan Menteri Perdagangan dan menteri terkait lainnya gagal melindungi masyarakat.

Dalam setiap peristiwa serupa yang dapat kita saksikan adalah kunjungan para petinggi negeri ini ke pasar-pasar tertentu. Sibuk sana sibuk sini. Menteri bersangkutan masuk ke pasar sembari melempar senyum kesana kemari dan tidak jelas pula apa maknanya terhadap masalah inti. Senyuman menteri tersebut pasti tidak mampu menurunkan harga sembako.

Pertanyaan lanjut adalah, kenapa jauh-jauh hari sebelum hari-hari besar keagamaan itu tidak dilakukan upaya persiapan. Bisakan belajar dari kasus-kasus tahun sebelumnya. Tupai saja tidak mau jatuh dua kali ke lubang yang sama. Masa, kita atau pemerintah yang punya segalanya tidak bisa keluar dari masalah-masalah yang sudah rutin.

Puasa, Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta hari-hari bersejarah lainnya kan bukan dadakan. Ini acara rutin yang pasti datang setiap tahun. Masa para menteri kita tidak bisa membuat perencanaan yang matang agar masyarakatnya dapat dengan tenang, nyaman dan tidak terbeban khususnya masalah harga sembako. Itu saja tidak bisa diatasi. Kalau membantu dunia internasional Indonesia bisa, masa membantu rakyatnya tidak bisa?

Kenaikan harga sembako untuk rumah tangga bersifat ekstrim seperti terjadi pada gula putih, daging, ayam, beras, minyak goreng, atau telur. Menyaksikan hal itu terkesan pemerintah membiarkan terjadinya liberalisasi harga sembako sesuai hukum ekonomi pasar bebas. Sikap lamban yang ditunjukkan Mendag juga mencerminkan rasa enggannya untuk menolong penderitaan yang dialami masyarakat luas.

Kondisi harga-harga kebutuhan masyarakat di pasaran saat ini kian mencekik yang bukan saja menambah beban sosial ekonomi, namun mengarahkan pada kehidupan yang semakin sulit.

Pendapatan masyarakat sejauh ini cenderung tidak membaik. Apalagi, secara bersamaan harus dihadapkan dengan beban biaya sekolah untuk tahun ajaran baru. Karenanya pemerintah perlu mengambil langkah cepat guna mengintervensi lonjakan harga sembako. ***

CATEGORIES
TAGS