Indonesia Adopsi Semangat Multikulturalisme

Loading

Laporan : Redaksi

UIN Sunan Kalijaga

UIN Sunan Kalijaga

YOGYAKARTA, (Tubas) – Secara de jure bangsa Indonesia sebenarnya telah mengadopsi semangat multikulturalisme, sekalipun dengan aktualisasi yang masih gamang. Bahkan Pancasila dan UUD 1945 telah mencoba merangkul semua unsur keragaman itu, sebagaimana terukir tegas pada simbol negara dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Sayangnya semua baru berkutat pada slogan, tetapi lemah dalam tindakan. Sehingga multikulturalisme terasa asing atau bahkan dicurigai.

Pernyataan ini dikemukakan guru besar Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Nasruddin Harahap SU, dalam forum pelatihan peningkatan mutu da’i yang berlangsung pekan lalu di kampus Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dikatakannya, pengalaman pada masa pemerintahan Orde Baru lalu bisa menjadi pelajaran berharga tentang perlunya sikap istiqomah dalam semangat multikulturalisme demi kelangsungan hidup bangsa yang memang bersifat multikutural.

“Kebijakan pemerintah Orde Baru yang otoriter sentralistik sejak lama telah membonsai kebhinnekaan daerah-daerah demi ke-Tunggal-Ikaan yang semu. Atas nama persatuan dan kesatuan, ruang gerak keanekaragaman kultural yang terdapat di daerah-daerah di persempit,” ungkapnya.

“Sehingga menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi pemerintahan nagari di Minangkabau, pela gandong di Ambon, komunitas dalihan natolu di Tapanuli,” ujarnya di forum pelatihan yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga tersebut.

Padahal, tambahnya, keanekaragaman tradisi sosio-kultural seperti ini merupakan kekayaan kultural luar biasa dan mengandung pranata-pranata sosial yang antara lain berfungsi sebagai alat untuk memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat.

Prof Nasruddin Harahap sempat mengemukakan kekhawatirannya terhadap apa yang disebutnya sebagai pengalaman pendek era reformasi “yang mendebarkan”. Karena menurutnya, di era reformasi kebijakan desentralisasi kekuasaan pemerintah ke daerah-daerah cenderung memperlihatkan gejala “daerahisme” yang tampil tumpang tindih dengan etnisitas “sukuisme”.

Kecenderungan ini, menurut Prof Nasruddin, jika tidak terkendali mempunyai bobot ancaman lebih besar terhadap keutuhan bangsa dibandingkan dengan pengalaman yang salah dari pemerintahan Orde Baru.

“Jika dulu kebhinnekaan yang terancam, sekarang bandul ancaman itu bergerak ke sisi ke-Tunggal-Ikaan. Walau sesungguhnya tidak ada yang salah dengan pengungkapan identitas etnik dan agama, karena di dalamnya ada kebanggaan karakter diri dan kemartabatan cultural yang diperlukan oleh tiap bangsa untuk maju dan kuat,” jelasnya. (s eka ardhana)

CATEGORIES
TAGS