Indonesia Kini Berada dalam Wajan Penggorengan Raksasa

Loading

demo

Oleh: Fauzi Aziz

 

WAHAI seluruh komponen bangsa. Para pemimpin dan elit di negeri ini. Kita sudah merdeka selama 71 tahun. Artinya kita sudah terbebas dari penjajahan, kemunduran dan tentu menjadi harapan kita semua bahwa sampai akhir zaman, negeri ini tetap utuh, lestari.

Sedikit-pun tak terkoyakkan oleh badai dan topan sekali-pun karena kita sama-sama mensyukuri nikmat hidup dan berkehidupan di negeri bernama Indonsia yang dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Kita hingga kini masih berpijak dalam bumi pertiwi yang gemah ripah. Namun,  ternyata di bumi pertiwi dimana kita berpijak terasa “panas” seperti berada dalam “wajan penggorengan raksasa” yang terus memanas akibat apinya tak pernah padam, bahkan semakin berkobar.

Kita tak lagi melihat indahnya pelangi kehidupan akibat kita terpanggang dalam bara api meskipun dalam sekam. Kita merdeka, tetapi tidak pernah bisa bersatu atau sulit mewujudkan persatuan dan kesatuan sehingga “gagal” melakukan konsolidasi total untuk meraih kemenangan dalam pembangunan peradaban.

Negeri ini kaya akan testimoni kejuangan dan kebangsaan, tetapi semakin kaya dengan testimoni, kondisi kehidupan yang terbentuk semakin jauh dari tatanan pelangi indah yang kini sudah malas menampakkan diri.

Kita punya Pancasila, UUD 1945 (yang sudah diotak-atik 4 kali), Bhineka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilar bangsa dan negara. Namun pilar ini belum sepenuhnya mampu menopang kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga negeri ini gampang diguncang oleh lingkungan yang kesannya Indonesia yang sudah merdeka dan berusia dewasa ini, perlu terus “dipanaskan” dalam “penggorengan”.

Indonesia kini menjadi sebuah negara yang konon diproyeksikan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 7 pada 2050. Tapi bangsa ini tak cukup mempunyai persiapan apa-apa menyongsong kehidupan untuk masa depan.

Gemah ripah, kaya, tetapi tetap miskin. Miskin dalam moral dan etika, miskin dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhannya, miskin dalam perdamaian dan miskin dalam persatuan dan kesatuan.

Ketika zaman telah berubah dan kita semua mengatakan bangsa ini telah ikut secara langsung dan terbuka untuk hidup dalam alam globalisasi, demokrasi dan digitalisasi, nyatanya kita belum sepenuhnya siap.

Empat pilar kebangsaan tadi tak sanggup membendung dan mengentaskan bangsa ini dari alam “penggorengan” karena ke-4 pilar tersebut hanya berwujud seperangkat testimoni politik yang “gagal” membumi. Ibarat tumpukan buku panduan yang tetap tersusun rapi dalam rak buku yang tidak pernah kita baca.

Dalam lintasan sejarah, bangsa ini selama 3,5 abad pernah hidup dalam kungkungan “penggorengan” penjajah. Sete lah merdeka-pun kita pernah “digoreng” oleh komunis untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis yang komunis, tetapi gagal total.

Perjalanan berikutnya, bangsa ini memasuki orde baru dengan faktor stabilitas yang cukup baik tetapi tidak demokratis. Pada masa ini Indonesia mengalami pergantian rezim yakni orde reformasi. Ada dua peristiwa penting yang tercatat dalam ingatan penulis, yakni Indonesia mengalami “kebangkrutan ekonomi” pada tahun 1998 akibat dampak krisis likuiditas Asia, dimana ekonomi Indonesia tumbuh minus 13%.

Berikutnya terjadi desentralisasi dan otonomi daerah yang dimulai tahun 1999/2000 dan sejak itu, nege ri ini melaksanakan sistem demokrasi liberal dan sistem ekonomi liberal. Secara good boy pasar barang dan jasa, pasar modal dan pasar modal diliberalisasi, serta BUMN didorong untuk diprivatisasi.

Ekonomi bergerak mengikuti hukum pasar dan sejak itu, negeri ini menjadi tempat penggorengan aset nasional oleh kapitalisme yang memandang Indonesia sebagai tempat empuk untuk penggorengan kekayaan nasional, dimana sebagian elit bangsa secara langsung dan tidak,  ikut bermain di dalamnya.

Penggorengan ini berhasil dan Indonesia kini secara nyata telah dikuasai modal asing, yang disertai oleh kondisi lingkungan yang tetap korup dan korup dari masa ke masa.

Di era digitalisasi dan keterbukaan, Indonesia makin mudah “digoreng” baik dari dalam maupun dari luar. Perkembangannya makin liar dan brutal dan ketika kehidupan ini makin demokratis, semangat ke KITA-an memudar lahir spirit ke AKU-an, dimana penguasa tak sanggup lagi mengendalikannya.

Menutup satu situs, tumbuh baru 1000 situs. Indonesia benar-benar masuk dalam “zaman edan”. Sampai ada yang mengatakan bangsa ini sedang “sakit jiwa”.

NKRI terus “digoreng” dan terus berada dalam “penggorengan” invisible hand yang berminat dan tidak ingin melihat bangsa Indonesia bersatu dan berhasil mengkonsolidasikan dirinya menjadi kekuatan politik, ekonomi dan budaya di dunia yang sangat solid dan kuat.

Isu-isu dalam berbagai skala terus menerus bergulir dan dalam beberapa hal dikapitalisasi oleh media. Penggorengan terhadap negeri ini makin eskalatif dan akhirnya negeri ini benar-benar terperangkap dalam jebakan perang proxi (proxi war), baik yang berlangsung di dalam negeri maupun di tingkat global.

Lakon ini yang sedang kita tonton. Sesama anak bangsa saling menebar kecurigaan. Kalau ada demo atau konflik, senjata pamungkasnya adalah memunculkan testimoni. Kita tentu sudah tahu siapa aktor intelektualnya. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS