Jangan Kelola Konflik

Loading

fa-3

Oleh: Fauzi Aziz

 

SEBARAN berita di media main stream atau online, banyak sekali mengangkat persoalan yang bernuansa mengenai soal manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Perkembangannya tidak idial, konflik terjadi hampir merata di seluruh dunia.

Sumber konflik adalah perbedaan, kesenjangan, keserakahan, kerakusan bahkan kekuasaan. Konflik di lingkungan kecil saja sudah sangat mengerikan, misal di lingkungan keluarga, apalagi terjadi dalam lingkungan yang lebih besar, masyarakat, bangsa dan negara.

Oleh sebab itu, jangan sekali-kali mengatakan akan mengelola konflik. Yang berpendapat seperti itu hanya orang-orang bodoh dan keblinger. Siapa yang sanggup mengelola konflik. Omong kosong jika sanggup. Konflik bersifat destruktif dan jauh dari keadaban.

Mengapa harus dikelola, hasilnya akan sia-sia karena pasti akan memunculkan konflik baru. Sesudah semua negara mengenyam kemerdekaan, diperkirakan konflik tidak akan ada. Nyatanya tambah ganas, konflik terjadi dimana-mana. Akibatnya bisa terjadi perang saudara, atau perang antar bangsa dan sesudah itu, hancur berkeping-keping.

Barjibar beh, Bubar siji bubar kabeh,dan inilah akibat konflik. Sumber dari segala sumber peperangan kecil, sedang dan besar adalah hanya satu, konflik. Sebab itu, jauhi konflik dan jangan kelola.  Jika ini yang dilakukan berarti sama saja mengelola sesuatu yang merusak/destruktif dan mengelola ketidakberadaban.

Apakah ini yang akan dilakukan? Tentu tidak, karena jika tindakan ini yang dipilih, manusia telah melanggar janji sucinya kepada Tuhannya, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab untuk perdamaian abadi di muka bumi. Bulsit ngomongin zona damai dan aman, jika konflik dikelola.

Konflik adalah penyakit sosial politik yang bersifat universal, Berkecambah dalam sudut-sudut kehidupan sosial politik di berbagai belahan dunia. Konflik selalu ada dan penyebabnya adalah konflik itu sendiri. Konflik dalam beberapa kejadian, seperti pada kasus pembebasan lahan selalu melibatkan si kaya (pemilik modal) dan si miskin dan pada umumnya dimenangkan si kaya, apalagi ada faktor si pemodal di-back-up oleh aparat. Izin-izin pembebasan lahan untuk atas nama pembangunan biasanya dimudahkan oleh pihak pemegang otoritas, padahal lahan tersebut masih dikuasai rakyat, baik atas nama hukum adat atau hak ulayat, sehingga terjadilah penggusuran, pembolduzeran  yang pada akhirnya rakyat harus rela melepaskannya demi kepentingan pemodal.

Konflik terkait soal sara, ini yang paling berbahaya. Pihak-pihak yang tukang mengkapitalisasi adalah berhati iblis. Mereka inilah yang berprofesi sebagai pengelola konflik. Konon ada yang “menggaji”,dan bohirnya bukan tokoh sembarangan, seperti sering kita baca dalam buku-buku yang membahas mengenai teori konspirasi.

Para pihak yang berkepentingan hampir tidak ada aktornya yang bersifat tunggal. Kasus di Suriah dan Irak adalah contoh paling nyata. Apapun isunya, peristiwanya adalah berkaitan dengan persoalan konflik dan konspirasi. Tanpa harus dibahas, yang menjadi korban adalah rakyat tak berdosa dan anak-anak. Akhirnya kita bisa mengatakan konflik yang dikapitalisasi melalui konspirasi, hakekatnya sebuah bentuk “kejahatan”. Selalu melibatkan kelompok kepentingan. Apapun bentuk kepentingannya, di dalamnya ada yang bermotif politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya. Kasus di Suriah melibatkan kekuatan Rusia (pendukung rezim berkuasa) dan AS (pendukung pemberontak sipil). Matilah rakyat kalau sudah begini. Apalah makna perdamaian, karena yang abadi sejatinya hanyalah konflik dan peperangan.

Indonesia apa sudah menjadi wilayah yang bebas konflik. Harapan kita sebagai rakyat biasa adalah tentu ingin negara kita damai dan aman-aman saja. Tapi perlu diingat, ancaman dan gangguan selalu ada, kadang bisa didinginkan, kadang dipanaskan oleh aktor-aktor invisible hand, yang tidak ingin melihat Indonesia merdeka, atau mereka memang kepingin Indonesia menjadi koloni baru mereka, bisa secara politis, ekonomi maupun budaya.

Wahai saudaraku sebangsa dan setanah air, cegah konflik, jauhi konflik dan jangan kelola konflik karena konflik bersifat destruktif dan jauh dari keadaban. Tradisi berkonflik selalu ada di ranah politik, ekonomi dan sudah kian merambah ke konflik budaya, seperti konflik sara, (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS