Kawasan Industri atau KEK ?

Loading

kendal

Oleh: Fauzi Aziz

INDONESIA bertekad menjadi negara industri tangguh. Karena itu pemerintah harus menyediakan kawasan industri dan sentra industri. Kebijakan ini tepat dan legalitasnya dapat dipertanggungjawabkan karena diatur oleh peraturan perundangan. Kawasan industri adalah kebutuhan sektoral dan harus dicukupi.

Kalau tidak industrialisasi tidak akan jalan karena tidak ada kawasan industri. Pada saat yang sama pemerintah mempunyai tekad bahwa Indonesia sebagai emerging economy yang atraktif perlu membangun sistem layanan kawasan yang lebih kompetitif dan lebih komprehensif dan dapat dilayani kebutuhannya melalui mekanisme one stop service, maka dipandang perlu  mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK- Special Economic Zones) seperti di Tiongkok ada kawasan Shensen dan sebagainya.

Kebijakan ini juga dilindungi peraturan perundangan yang kuat. Ada Kawasan Industri, ada KEK.Mana yang lebih tepat. Dua-duanya benar dan dibutuhkan sebagai salah satu wahana yang diperlukan untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi. Mungkinkah keduanya disatukan dalam satu rumpun kebijakan ? Jawabnya mungkin. Dan kebijakan itu soal pilihan.

Batam sebagai contoh adalah KEK.Tapi di Pulau Batam di dalamnya ada kawasan industri Batamindo, Kabil dan lain-lain. Shenzhen polanya juga sama. Shenzhen semula adalah desa yang sepi. Oleh Deng Xiaoping ditetapkan sebagai KEK pada tahun 1980.

Apa yg terjadi antara tahun 1980-2005. Shenzhen tumbuh cepat. Jumlah penduduknya naik dari 13.000 menjadi 11 juta orang.Ekonominya naik rata-rata 28% dari tahun 1980-2004. Nilainya pada tahun 1980 sebesar 32,5 juta dolar AS naik menjadi 41 miliar dolar AS. Ekspor Shenzhen tahun 2005 mencapai 101,5 miliar dolar AS atau sekitar 13% dari total ekspor Tiongkok kala itu.

Shenzhen kini menjadi salah satu dari empat kota pelabuhan kontainer tersibuk di dunia dan bandara keempat tersibuk di Tiongkok. Keseluruhan ekonomi Shenzhen tumbuh 126 kali pertumbuhan ekonomi Singapura.

Batam tepat dijadikan KEK dimana di dalamnya ada beberapa kawasan industri. Hanya saja memerlukan satu sistem manajemen kawasan yang khusus dengan konsep one stop service dan final. Penulis berpendapat bahwa Indonesia memang perlu membangun KEK di beberapa koridor ekonomi, dimana di dalamnya ada kawasan industri. Sistem ini lebih mudah menciptakan efisiensi karena sistemnya integrated dan dilayani secara one stop service seperti pertama kali Kawasan Berikat Nusantara(KBN) dibangun.

Pada saat itu semua perizinan dari beberapa kementrian memberikan pelimpahan kepada pengelola kawasan tersebut. Namun sayang pelimpahan itu semua ditarik kembali karena kementrian yang terkait tidak rela kewenangan pemberian izinnya didelegasikan ke pengelola KBN.

Apa jadinya KBN sebagai export processing zone. Kita boleh lihat sekarang, mereka tidak tumbuh sebagaimana diharapkan. Mengelola KEK tidak boleh pemerintah bersifat ambigu. Kalau ambigu, nasibnya akan menjadi Batam seperti sekarang.

Padahal Shenzhen dikembangkan konsepnya mencontoh Batam. Kita selalu bernasib jelek. Tidak pernah menjadi guru yang berhasil karena tata kelola kita sangat buruk. Karena itu, lebih baik Kementrian Perindustrian mengintegrasikan konsep pembangunan industrinya masuk dalam bagian pengembangan KEK. Membangun kawasan industri di luar KEK ongkosnya pasti lebih mahal dan daya tariknya pasti lebih atraktif jika kawasan industri dibangun dalam satu KEK. Ini bukan debat soal kewenangan. Ini adalah soal kebijakan.

Dan pemerintah sudah memutuskan KEK yang dibangun, dimana kawasan industri bisa menjadi salah satu sub sistemnya. Kedua kawasan tersebut sah dan legal dan tidak ada tumpang tindih. Yang penting adalah resultnya, yakni ekonomi tumbuh utamanya ekonomi daerah, ekspornya juga makin meningkat. Setiap KEK yang dibangun harus pro bisnis dan pro pasar. Hindari dan jauhi keputusan yang bersifat ambigu. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS