Kelangkaan BBM dan Implikasinya

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SEPEKAN ini kita dikagetkan dengan pemberitaan BBM solar langka di beberapa titik. Antrean panjang kendaraan angkutan barang dan orang menjadi pemandangan sehari-hari seperti pada zaman Malaise. Memalukan, memilukan dan paradoks di saat negeri ini diproyeksikan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Penyebabnya pasti pasokan kurang dan kondisi ini tercipta bisa disebabkan karena ada pengendalian yang sengaja dilakukan oleh pihak otorisator,atau gangguan pengiriman dari depo ke SPBU dan atau karena sebab lain.

Apapun dalilnya, kejadian tersebut tidak sehat dilihat dari sudut pandang manapun. Pertama, sikap pemerintah tidak realistik dan seperti menutup mata serta tidak percaya diri bahwa ekonomi domestik menggeliat yang ditandai oleh pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga 5% lebih dan berkontribusi terhadap PDB mendekati 55%.

Kedua, akibat pasokan BBM terganggu, maka sistem transportasi darat pasti terhambat yang pada gilirannya dapat menyebabkan harga-harga barang naik. Ketiga, kita tahu,bahwa dewasa ini angkutan darat pembawa sembako dan barang kebutuhan lain, BBM-nya menggunakan solar. Jika moda angkutan itu tidak jalan, maka sudah pasti akan berdampak serius bagi aktifitas ekonomi masyarakat, industri dan aktifitas ekonomi lainnya, termasuk nelayan kecil yang tidak bisa melaut .

Pendek kata efeknya menjadi berantai ketika masalah pasokan dan permintaan tidak seimbang lagi. Melihat fenomena ekonomi seperti ini, secara fondamental dapat dikatakan bahwa di negara ini ada dua masalah besar yang dihadapi. Satu pihak adalah masalah keterbatasan pasokan dan di lain pihak ada problem akut, yakni layanan infrastruktur yang buruk.

Efeknya pasti inflatoir. Ekonomi mudah memanas. Kita tidak boleh menganggap masalah ini hanya karena sebuah kondisi sementara dan problemnya bisa ditanggulangi secara ad hoc. Kasus diproduk BBM dan hotikultura adalah contoh konkret dan kasat mata bahwa produksi di dua kelompok komoditi tersebut ada banyak masalah yang harus segera diatasi.

Terhambatnya sistem transportasi darat dan laut juga dapat berakibat terhambatnya pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur karena moda angkutan juga mengangkut bahan-bahan bangunan seperti semen, besi beton, plat baja dll. Akibatnya pelaksanaan proyek menjadi tertunda dan dampak lanjutannya adalah serapan anggaran/belanja modal menjadi tidak optimal.

Ekonominya tumbuh rata-rata 6% tapi dibayar dengan beaya input yang relatif mahal sehingga pertumbuhannya berdaya saing rendah. Sistem perekonomiannya sangat distorted. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa harga BBM akan segera disesuaikan. Spekulasi dan upaya penimbunan terindikasi sudah mulai dirasakan terjadi di masyarakat.

Penulis memang memulai dengan topik yang bersifat mikro sekali, yakni soal kelangkaan BBM di Pantura dan tempat lain. Dimulai dari sisi yang paling ujung di industri tersier, yakni sistem distribusi. Tapi begitu kita bedah, efek bola saljunya begitu rupa, yakni menghasilkan kondisi paradoks ekonomi. Ekonominya tumbuh, tapi mengalami trade off yang luar biasa, yakni sektor primer dan sekundernya tumbuh rendah.

Hanya mampu tumbuh rata-rata 4-6%/tahun dalam 10 tahun terakhir. Sebaliknya, di sektor tersiernya mampu tumbuh lebih tinggi yakni 7-10% rata-rata per tahun dalam satu dasawarsa lebih. Data BPS tahun 2012 bisa sedikit memberikan gambaran tentang fenomena itu.

Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,38%, sektor pertanian hanya tumbuh rata-rata 4%. Industri pengolahan hanya tumbuh rata-rata 5-6%. Sektor pengangkutan tumbuh 9.98%. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB turun menjadi 14,44% yang pada tahun 2011, 14,70%. Sektor pertambangan dan penggalian turun menjadi 11,78%, tahun sebelumnya 11,85%.

Sektor industri pengolahan turun dari 24,33% menjadi 23,94%. Sementara itu, kontribusi konsumsi rumah tangga paling tinggi perannya, yakni 54,56%, komponen impor 25,81% dengan pertumbuhan 6,65% dan kompoenen ekspor 24,26% dengan pertumbuhan hanya 2,01%.

Inilah secara makro gambaran tentang struktur perekonomian bangsa ini. Premis bahwa dalam sistem nasional, regional dan global di bidang ekonomi telah semakin digerakkan oleh faktor permintaan semakin terjawab. Indonesia kalau tidak berhasil menggenjot peningkatan produksinya di sektor primer dan sekunder, maka ancamannya yang paling berat adalah bahwa negeri ini akan menjadi net importir di produk primer dan sekunder.

Ancaman ini tentu serius, karena Indonesia bisa dinilai gagal menjadi pusat produksi dan distribusi, baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS