Mengenang Hakim Agung Meregang Nyawa Saat Menegakkan Hukum

Loading

SYAFIUDDIN Kartasasmita yang sehari-harinya, bekerja sebagai Hakim di Mahkamah Agung, tanggal 26 Juli 2011 ditembak mati oleh orang tak dikenal saat hendak berangkat ke kantornya.

Namun misteri motif pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin terungkap setelah dua orang tersangka pelaku pembunuhan tertangkap sebulan kemudian. Keduanya mengaku disuruh Tommy Soeharto untuk menghabisi Syafiuddin.

Alur kisahnya menjadi jelas. Sebelum tewas, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memang sedang menangani kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog yang merugikan negara sebesar Rp 9,5 miliar.

Kasus ini menyeret Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang saat itu merupakan komisaris utama PT GBS sebagai pemilik saham 80 persen.

Sementara Ricardo Gelael menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut yang mengantongi saham 20 persen. Mereka terlibat perjanian tukar guling atau ruislag dengan Bulog pada 17 Februari 1995 silam.

Lahan milik Bulog berupa bidang tanah, gedung, kantor dan gudang di Kompleks Pergudangan Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara seluas sekitar 50 hektare tersebut akan ditukarkan dengan lahan seluas sekitar 125 hektare, di kawasan Marunda, Jakarta Utara, berupa rawa-rawa yang disiapkan Tommy.

Kasus itu muncul ke permukaan setelah diketahui tak ada proses lelang, melainkan melalui penunjukkan langsung atas kuasa ayah Tommy.

Semula di pengadilan tingkat pertama, yaitu PN Jakarta Selatan, Tommy dan Gelael divonis bebas, pada 19 April 1999. Namun Jaksa meminta banding dan di tingkat kasasi MA, Tommy divonis bersalah.

Ketua Majelis Hakim saat itu, Syafiuddin Kartasasmita, menjatuhkan hukuman berupa wajib bayar ganti rugi Rp 30 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara, pada 22 September 2000 silam.

Tommy sempat mengajukan grasi kepada Presiden Gus Dur. Namun Gus Dur menolak permohonan grasi Tommy melalui Keputusan Presiden Nomor 176/G/2000 yang dirilis pada 3 November 2000. Selanjutnya, Tommy melarikan diri alias kabur.

 

Saat Polri melalui Tim Kobra dipimpin Tito Karnavian, Tim Khusus Pemburu Tommy sedang berusaha memburu Tommy, terjadilah peristiwa penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.

Setelah menjadi buronan selama 1 tahun lebih 22 hari, pencarian Tommy berakhir ketika polisi menyergapnya di sebuah rumah Jalan Maleo II No.9, Bintaro Jaya, Tangerang. Pada 28 November 2001, Tommy ditangkap saat tengah tertidur lelap.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya memvonis Tommy 15 tahun penjara. Tommy terbukti memiliki senjata api, memiliki amunisi, membunuh Hakim Agung Syafiuddin, serta melarikan diri dari jerat hukum.

Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa Noval Hadad dan Raden Maulawarman alias Molla, Ny. Iwah Setyawaty, istri kedua mendiang Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita mengungkapkan bahwa Elza Syarief, pengacara Tommy Soeharto sempat menemui Syafiuddin untuk membicarakan kasus Tommy sebanyak lima kali.

Iwah Setyawaty juga mengungkap fakta bahwa Elza Syarief  pernah mengirimkan surat kepadanya, menawarkan uang Rp 200 juta agar Tommy bisa menang.

Tujuh belas tahun berlalu setelah penembakan Hakim Agung Syafiuddin, negara kita masih berkutat dengan persoalan pemberantasan korupsi. Perang terhadap korupsi memang tidak mudah. Para koruptor bahkan berani melakukan perlawanan balik melalui intimidasi yang bisa mengancam nyawa para penegak hukum yang sedang membongkar kasus korupsi.

Selain Hakim Agung Syafiuddin, kita juga ingat kisah mantan Jaksa Agung, Baharudin Lopa yang meninggal mendadak pada 3 Juli 2011. Lopa dinyatakan meninggal akibat serangan jantung, namun banyak yang meragukan sekaligus menduga kematian Lopa berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang sedang ditanganinya.

Beberapa waktu lalu, kasus penganiayaan juga dialami penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang banyak mengungkap kasus besar korupsi. Akibat penganiayaan tersebut, mata kiri Novel mengalami cacat permanen. Tragisnya, hingga kini penanganan kasus tersebut belum terungkap jelas sepenuhnya.

Kasus penembakan Hakim Agung Syafiuddin adalah salah satu tragedi terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Kita hanya bisa mengenang jasa-jasa mereka yang tetap setia bahkan sampai mati mengabdikan diri melawan korupsi.

Saat ini, “otak” pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin sudah melenggang bebas, terjun ke dunia politik, menjadi ketua umum partai politik dan sedang berupaya untuk duduk di lembaga legislatif, menjadi anggota wakil rakyat yang terhormat.*

CATEGORIES
TAGS