Pembatalan Perda dengan Cara “Membuldozer”

Loading

index.jpgdddddddddddddd

Oleh: Fauzi Aziz

REPUBLIK ini seperti negeri tontonan yang sensasional. Tiga ribu lebih Peraturan Daerah (Perda) dibatalkan. Berbagai kalangan memberi komentar dari yang sifatnya substansial, sampai sekedar mengomentari tentang prosesnya.

Nyabut uban di kepala kita saja dilakukan satu persatu.Tidak ada yang borongan, sekali kepras ribuan Perda dibatalkan. Luar biasa. Sepertinya negeri ini sudah kebelet ingin segera beres-beres. Kita  tahu, Perda adalah undang-un dangnya daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota.

Perda adalah acuan bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat, acuan pelaksanaan pembangunan di daerah dan sebagai instrumen regulasi yang berfungsi sebagai bentuk perlindungan pemerintah daerah kepada rakyatnya.

Dan semuanya itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan law and order. Yang pasti banyak progam dan kegiatan di daerah yang diselenggerakan dengan mengacu kepada Perda dan jika sampai ada progam dan kegiatan yang mengacu pada Perda yang dibatalkan, berarti pembatalan tersebut menimbulkan masalah baru.

Progam dan kegiatannya menjadi kehilangan makna dan paling parah terjadi pemborosan sumber daya yang nilainya pasti tidak sedikit. Waktu Perda disusun pasti ada naskah akademis. Sewaktu akan dibatalkan semestinya harus pula dilakukan telaahan. Pembatalan Perda jelas bukan prestasi. Pembatalan Perda dalam jumlah yang masif adalah cermin dari kegagalan pemerintah menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengawasan pelaksa naan desentralisasi dan otonomi daerah.

Mendagri dan Dirjen Otonomi Daerah nampak bangga. Baru satu setengah tahun menjadi pejabat publik telah membatalkan ribuan Perda. Luar biasa cerdas dan sangat profesionalnya petugas yang bekerja di Ditjen Otonomi Daerah bisa merekomendasikan 3.000 lebih perda kepada Mendagri untuk dibatalkan.

Pakai metode apa sehingga sekali cabut bisa sekian ribu Perda dibatalkan. Barangkali Kemendagri mempunyai sistem yang bisa cepat mengatakan satu produk Perda bermasalah. Semoga saja setelah ribuan Perda ini dicabut, dalam tempo sesingkat-singkatnya investasi di daerah dapat tumbuh cepat secepat tumbuhnya alang-alang di lahan terlantar.

Membantarkan Perda sebaiknya tidak disemangati oleh arogansi. Permainan kekuasaan sangat terasa dipakai sebagai cara membantarkan Perda. Dengan entengnya Mendagri mempersilahkan kepada daerah yang keberatan untuk melakukan yudicial review ke MA atau MK.

Kesan arogansi muncul dan makin memberikan keyakinan bahwa ada kecenderungan pembatalan Perda tidak dilakukan dengan mendalam. Padahal secara akademis telah ada sistem yang dapat dipakai untuk menilai sebuah regulasi efektif atau tidak. Sistem tersebut dikenal Regulation Impact Assesment (RIA).

Mudah-mudahan kalau kajiannya dilakukan, metode tersebut bisa dipakai melakukan penilaian. Penulis menyayangkan pekerjaan yang baik, kemudian menjadi debat publik yang bersifat terbuka karena sebagian mengatakan prosesnya tidak transparan. Akuntabilitas publiknya menjadi rendah karena penanganannya diduga diwarnai  semangat waton.

Nilai kredibi litas Kemendagri turun akibat tidak transparan. Pendekatan hirarki kekuasaan benar-benar dipakai sebagai bagian dari permainan kekuasaan. Pejabat publik di daerah barangkali juga takut melakukan pembelaan karena takut dilengserkan atau di PAW-kan bagi anggota DPRD atas sabdo pandito ratu yang ada di pusat kekuasaan di Jakarta.

Mengapa mesti pembatalan. Mengapa tidak dilakukan dengan pendekatan lain, misalnya “deregulasi” atau “revisi” seperti yang dilakukan pemerintah pusat. Tapi nampaknya cara ini tidak disukai  Kemendagri karena lembaga pemerintah ini lebih menyukai bertindak seperti “Buldozer” karena ini bagian dari permainan kekuasaan.

Sebelum masalah baru muncul dan ini tidak sehat dan tidak kondusif bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah, sebaiknya Kemendagri menjelaskan dimana letak masalahnya karena pembuatan Perda menggunakan uang rakyat yang tidak sedikit.

Yang penting perlu segera dipastikan adalah kepastian hukumnya  apakah progam dan kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang sudah dijalankan dengan mengacu Perda yang dibatalkan masih dapat dilanjutkan atau tidak karena landasan hukumnya sudah tidak ada lagi.

Kalau dilanjutkan apakah ada aturan main yang dapat dijadikan rujukan.Teka-teki dan sejumlah pertanyaan mendasar ini harus dijelaskan  supaya iklimnya tetap kondusif. Saran penulis lakukan saja evaluasi dengan menggunakan metode RIA dan pendekatannya dalam semangat “deregulasi” dan “review”. Jangan memakai mekanisme politik “Buldozer” dan apalagi main kepras habis seperti babat alang-alang di lahan kosong. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS