Pemprov DKI Hentikan Pembangunan Mal?

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

BERITA penghentian pembangunan mal atau pusat perbelanjaan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cukup mengejutkan bagi para pengembang (developer) properti. Soalnya, dari sisi bisnis, Jakarta dianggap lapangan usaha properti yang menjanjikan dan masih yang tercepat dalam pengembalian modal yang ditanamkan. Bahkan, tidak ayal bahwa properti yang ditawarkan sudah habis terjual, sebelum pembangunan fisik selesai.

Akan tetapi, sekalipun kabarnya sudah dicabut lagi, bagi pencinta perkotaan yang nyaman dan ideal, kebijakan Pemeritah Provinsi DKI Jakarta untuk menghentikan sementara pembangunan mal sekarang ini, bisa diterima. Sebab, pembangunan pusat perbelanjaan yang tidak dilandasi pengaturan tata ruang yang ketat dan analisis mengenai dampak sosial, dampak lingkungan dan dampak lalu lintas, akan menghadirkan dampak negatif terhadap arus lalu lintas, serta persaingan bisnis yang semakin tajam atau dapat mematikan fasilitas perbelanjaan yang sudah ada.

Sebaiknya, sebelum perizinan mal diberikan, hendaknya pemerintah dan pengembang mendiskusikan target lingkungan dan target pasar yang dituju, dan bagaimana pemasarannya. Kondisi yang terjadi selama ini, ada penumpukan pusat perbelanjaan di satu lokasi sehingga terjadi penumpukan arus lalu lintas, dan pengembangnya tidak punya konsep yang matang tentang target yang dituju, serta bagaimana jangkauan pemasarannya. Ada pusat perbelanjaan lama yang mati, karena dibangun pusat perbelanjaan yang baru.

Gubernur Fauzi Bowo baru-baru ini sempat menyatakan, Pemerintah Provisi DKI Jakarta akan menyetop sementara pemberian izin pembangunan mal atau pusat perbelanjaan yang luasnya di atas 5.000 meter persegi hingga tahun 2012. Alasannya, banyak pusat perbelanjaan yang kosong, sepi penjual dan pembeli. Jumlah mal dan pusat perdagangan di Jakarta sebanyak 68-70 buah, dinilai sudah jenuh. Di Jalan S Parman dari Slipi hingga Grogol sepanjang 5 kilometer saja, terdapat empat pusat perbelanjaan, yaitu Slipi Jaya, Mal Taman Anggrek, Central Park dan Mal Ciputra.

Sekitar 3 kilometer dari Mal Ciputra, ada pula Pusat Perdagangan Season City yang hingga kini terlihat sepi. Sebagian besar kios di pusat perdagangan berlantai delapan itu tutup. Pembeli pun tak banyak terlihat. Suasana serupa juga terlihat di Pusat Perdagangan Roxy Square. Dari lantai ke lantai, banyak terlihat kios yang tidak buka.

Menurut pengamatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, dari 68 sampai 70 mal atau pusat perbelanjaan di Jakarta, hampir 90 persen berperan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Hal itu dikatakan Kepala Sub–Direktorat Keamanan dan Keselamatan Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Yakub Dedy Karyawan, karena pembangunan mal tidak pernah membuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), khususnya tentang lalu lintas.

Yakub mengatakan baru-baru ini, keberadaan mal, tidak hanya sebagai tempat transaksi barang, tetapi juga menjadi pusat konsentrasi massa.. Untuk itu, Yakub mengusulkan kepada Pemerintah DKI Jakarta, untuk membuat Peraturan Daerah khusus mengenai amdal lalu lintas. Seharusnya pemberian izin pembangunan mal baru dapat dipakai untuk mengurai konsentrasi massa ke tempat lain.

Didikte Pengembang

Sebenarnya, selama ini banyak kemelut kota terjadi, karena aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam memberikan izin dapat didikte oleh kalangan pengembang dan tidak ada pedoman tata ruang dan wilayah yang ketat dan komprehensif. Hal ini terkait pula dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 2010 -2030, yang hingga saat ini belum ada Peraturan Daerahnya. Wakil Ketua DPRD DKI, Lulung Lunggana baru-baru ini mengakui, sejumlah masalah masih dievaluasi oleh DPRD, sebelum mensahkan Peraturan Daerah RTRW Jakarta Tahun 2010-2030.

Padahal, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mewajibkan daerah, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sudah harus memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW yang pasti. Belum lama ini Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum secara prinsip sudah menyetujui Rancangan RTRW DKI Jakarta 2010-20130 dengan berbagai catatan. Antara lain catatan yang paling penting adalah harus tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 persen dari luas wilayah, untuk taman-taman, dan area bermain sebagai paru-paru kota.

Sehingga, kalau penghentian pembangunan mal hingga tahun 2012 ini jadi dilakukan, bisa dijadikan momen untuk mengevaluasi diri tentang kesalahan pemberian izin pembangunan mal oleh aparat Pemprov DKI yang tidak didasari RTRW yang ketat, serta arah pembangunan yang hanya melihat kepentingan birokrasi, konsultan dan kelompok pebisnis. Tidak bisa dipungkiri, bahwa tata ruang di DKI Jakarta, seolah-olah ditentukan atau didikte oleh kalangan pengembang besar yang menguasai kawasan-kawasan strategis. Inilah sumber kemelut yang seharusnya diselesaikan Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. **

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS