Penderitaan, Cinta Yang Membekas ?

Loading

(Disarikan dari ceramah alm. H. Chambali – Dwija Wara November 1979)

pangestu

DATANGNYA penderitaan pada setiap manusia di dunia ini adalah berasal dari segala sesuatu yang dicintainya, karena lekat terikat kepada segala sesuatu yang tidak abadi adanya. Misalnya cinta kepada istri, anak, harta benda, kedudukan, dan lain sebagainya. Makin melekat atau makin membekas cinta seseorang kepada sesuatu yang ada di dunia ini, maka makin besar juga penderitaan yang akan didatangkannya.

Cinta yang membekas diganti dengan rela

Pada umumnya orang tua mencintai anaknya. Contohnya kisah Nabi Ibrahi yang oleh Tuhan YME telah diperintahkan untuk menyembelih putranya yang sangat beliau cintai. Dalam menerima perintah Tuhan tersebut, untuk beberapa saat Nabi Ibrahim mengalami kebimbangan. Benarkah Tuhan memerintahkan demikian? Namun setelah yakin bahwa Tuhan benar telah memerintahkan yang demikian itu, maka Nabi dengan perasaan rela menjalankan perintah Tuhan tersebut. Atas kehendak Tuhan, maka anak Nabi yang disembelih telah diganti-Nya dengan domba sehingga yang terpotong adalah leher domba.

Peristiwa ini adalah ujian Tuhan terhadap Nabi Ibrahim untuk mengetahui tingkat keimanan Nabi kepada Tuhannya dan tingkat kerelaan Nabi terhadap segala sesuatu yang ada di dunia ini yang sifatnya tidak abadi. Ternyata Nabi Ibrahim telah lulus dalam ujian ini. Nabi telah berhasil mencapai derajat kejiwaan yang sangat tinggi, sebab ia telah bebas dari kemelekatan cintanya pada sesuatu yang dimiliki di dunia.

Agar manusia lepas dari kemelekatannya pada sesuatu yang dimiliki di dunia, semua yang dicintainya harus direlakan kepada Sang Pemilik Hidup, ialah Tuhan YME. Sekecil apa pun milik manusia di dunia yang kemudian menjadi kecintaan/kesayangannya, sebenarnya hanyalah pinjaman dari Tuhan, pada waktunya harus dikembalikan pada Sang Pemilik. Oleh karena keberadaan apa yang terlihat di dunia ini tidak abadi, suatu saat akan musnah/hilang/rusak. Yang abadi hanyalah keberadaan Tuhan YME saja.

Rasa cinta karena merasa memiliki, hendaknya diganti dengan rasa sayang dan penuh tanggung jawab untuk merawat apa yang ada dalam gegaman kita; yaitu milik kita, dari suami/istri/anak/harta benda/pangkat/jabatan dsb. Dalam merawatnya dikerjakan dengan cermat dan teliti karena sadar semua itu adalah pinjaman atau diberi waktu untuk menguasainya sampai batas tertentu. Waktu yang diberikan untuk merawat dipertanggungjawabkan dengan baik kepada Tuhan sebagai Sang Maha Pemilik.

Cinta dalam keluarga diganti dengan rasa sayang

Dalam kehidupan berumah tangga, sepasang suami istri diawali dengan saling mencintai. Setelah dianugerahi anak, rasa cinta antara suami istri harus diganti dengan rasa kasih sayang, dan setiap pasangan harus berusaha untuk meningkatkan kasih sayang. Caranya dengan saling memperhatikan, saling percaya tanpa rasa curiga atau cemburu.

Rasa cemburu itu keluar karena sangat mencintai dan rasa takut kehilangan. Kemudian jika ada masalah dalam kehidupan berumah tangga, harus saling memaafkan dan tidak saling menyakitkan. Oleh karena perbuatan menyakitkan hati dapat meretakkan tali cinta kasih dan apabila dibiarkan berlarut-larut, tali cinta kasih dapat putus.

Sebaiknya pasangan suami istri saling memikat hati satu sama lain, sederhana dan jujur. Tidak perlu menyimpan rahasia diantara suami istri, kecuali rahasia negara. Keharmonisan hubungan suami dan istri akan menjadi contoh nyata bagi anak-anaknya. Dengan demikian anak pun kelak akan membangun keluarga seperti yang dicontohkan orang tuanya.

Cinta yang membekas dan tidak membuat manusia menderita hanya cinta manusia kepada Tuhannya, sebagai Sang Pencipta, Sumber Hidupnya. Semakin dalam cinta manusia kepada Tuhan YME, maka rasa tenang, tenteram, damai dan sayang akan dimiliki. Sebab Tuhanlah yang Mahasuci, Mahakasih, dan Maha Penyayang. Dialah sumber kebahagiaan bagi hamba-Nya. ***

CATEGORIES
TAGS