Pengangkatan Kepala RSUD Doloksanggul, Kontroversial

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

DOLOKSANGGUL, (Tubas) – Pengangkatan Dr Elisabeth D. Manalu MM beberapa pekan lalu sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), hingga saat ini masih menjadi teka-teki dan dianggap keputusan kontroversial dari Badan Pertimbangan Pangkat dan Jabatan (Baperjakat) Humbahas. Pasalnya, pengangkatan Elisabet sebagai orang nomor satu di RSUD Doloksanggul itu diduga telah menabrak UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Hal itu dikatakan Sekretaris LSM MPPK2N Dompak Hutasoit kepada wartawan baru-baru ini di Doloksanggul. Menurutnya, dalam konteks itu, Baperjakat Humbahas yang diketuai Martuaman Silalahi, SH yang juga Sekretaris Daerah, dinilai tidak cakap dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dia harus belajar lagi membedah dan menelaah artikulasi UU No 44 tahun 2009, agar lebih mantap.

Dalam UU tersebut, Pasal 34 Ayat 1 tertulis bahwa direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang kerumahsakitan. Sementara latar belakang pendidikannya Dr, SPsi dan Magister. Karena itu, pengangkatan direktur rumah sakit yang basisnya bukan tenaga medis, dianggap telah melanggar undang-undang.

Menurut salah seorang dokter yang namanya tidak mau disebutkan, yang dimaksud tenaga medis hanya dokter umum dan dokter gigi. Sementara magister (S2), tidak bisa dikatakan atau diartikan sebagai tenaga medis. Di samping itu, lanjut dia, RSUD perlu dipimpin seorang dokter, kalau perlu penanganan medis terhadap pasien yang darurat, saat itulah perlunya seorang yang paham medis guna memberikan arahan dan pengawasan kepada dokter saat menangani pasien.

Martuaman Silalahi, SH Sekdakab Humbahas, saat hendak dikonfirmasi di ruang kerjanya beberapa saat lalu, tidak berhasil, walaupun berada di kantor. Salah satu ajudannya mengatakan kepada beberapa wartawan, “Bapak lagi mengonsep, tidak bisa diganggu, lain kali aja.”

Salah seorang warga masyarakat, K Silaban, SPd mengatakan, syarat kepala rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Rumah Sakit selalu menarik, malah terkadang cenderung menjadi debat kelompencapir karena mempertahankan ego masing-masing.

Lebih lanjut Silaban menjelaskan, perdebatan menyangkut profesi tertentu kadang mengesampingkan profesi lain. Pasal ini seakan menekankan, kalau menyebutkan tenaga medis maka profesi nonmedis menjadi tidak mampu. Pasal ini sepertinya memberi perhatian kepada para profesional di bidang kesehatan saja. Padahal, untuk posisi direktur rumah sakit lebih diperlukan keterampilan manajerial dan kemampuan mendayagunakan seluruh potensi rumah sakit daripada hanya tenaga medis saja.

Ditambahkan, pasal tersebut memang tetap mengundang perdebatan yang panjang menyangkut kelayakan substansi persyaratan akademik dan profesi ini. Apalagi kalau perdebatan dilandasi emosi dan egoisme profesi. Kompetensi itu juga menyangkut pengetahuan, keterampilan dan perilaku, ungkapnya. (tim)

CATEGORIES
TAGS