Penghapusan PBB Rumah Tinggal Patut Diapresiasi

Loading

060215-bb1

PENGHAPUSAN pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumah tinggal, patut diapresiasi. Hal ini juga dapat membuktikan kehadiran negara dalam urusan penyediaan kebutuhan dasar rakyat, yakni rumah hunian yang harganya bisa terjangkau. Selama ini kenaikan PBB yang minimal 15 persen setiap tahun, memicu harga rumah menjadi sangat tinggi karena harga lahan yang mahal.

Dua hari berturut-turut hari Rabu (4/2) dan Kamis (5/2) yang lalu, kita disuguhi berita menggembirakan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kementerian ini sedang menggodok aturan untuk menghapus Pajak Bumi dan Bangunan untuk rumah tinggal.

Beberapa tahun lalu, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, berhasil membahagiakan rakyat dengan meningkatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah untuk rumah tempat tinggal seluas 200 meter persegi. Hal itu berlaku hingga sekarang.

Sertifikat HGB sering menjadi momok bagi masyarakat, karena tidak ada kepastian hukum. Kalau ada proyek untuk peruntukan lain, bisa digusur atau belum tentu bisa diperpanjang setelah habis masa berlaku HGB 20 tahun. Sedangkan SHM menjamin kepastian hukum dan berlaku selamanya. Hal ini pun merupakan produk Badan Pertanahan Nasional, sekarang tergabung pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang patut diapresiasi.

Presiden Jokowi dituntut bisa membuat terobosan seperti Gus Dur sesuai gagasan Menteri Agaria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan ini, untuk membahagiakan rakyat Indonesia lagi dengan menghapuskan pungutan PBB tiap tahun, khusus untuk rumah tinggal.

Sebagaimana dikatakan Menteri Ferry Mursyidan Baldan, pungutan pajak adalah salah satu instrumen menyejahterakan rakyat yang setara dengan penghapusan untuk meringankan beban masyarakat. Untuk tanah rumah hunian cukuplah sekali membayar PBB ketika pertama kali membeli rumah. Hal ini bisa menekan harga rumah, sehingga rumah murah bisa terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun, bagi pemilik bangunan komersial, seperti mal, hotel, restoran dan bangunan lain yang memiliki kegiatan bisnis, wajar tetap membayar PBB tiap tahun karena dipakai sebagai tempat usaha yang menghasilkan uang. Ferry menilai, terobosan ini akan membuat negara hadir untuk rakyat.

Selain terobosan menghapuskan PBB untuk tanah rumah tempat tinggal, Kementerian Agraria ini juga akan mengembalikan fungsi tanah yang bernilai sosial , serta menetapkan zonasi kisaran harga tanah dengan memberikan batas tertinggi. Negara harus memegang kendali agar harga tanah tidak menjadi bahan spekulasi para pemilik modal.
Sejak berlakunya UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB memang menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk itulah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN mendorong audit PBB dan kontribusinya terhadap PAD di seluruh Indonesia. Pemerintah Daerah jangan hanya melihat penghapusan PBB rumah tinggal ini sebagai ancaman kehilangan PAD. Tetapi negara, termasuk Pemda wajib menyejahterakan rakyat dengan mengurangi beban yang memberatkan, seperti kewajiban membayar PBB tiap tahun.

Namun bagi DKI Jakarta, penghapusan PBB rumah tinggal ini kiranya tidak begitu mengurangi pendapatan secara signifikan, karena jumlah bangunan komersial yang bisa dipungut PBB tiap tahun cenderung bertambah. Belum lagi pendapatan dari pajak kendaraan bermotor, pajak restoran, pajak reklame, pajak hiburan dan berbagai pungutan retribusi lainnya yang terus bertambah.

Penghapusan PBB ini bisa menjadi bonus bagi warga Jakarta, agar tidak begitu iri dengan kenaikan gaji pegawai PNS Pemprov DKI yang cukup signifikan. Pendapatan Pemprov DKI memang cukup besar, di atas Rp 70 triliun, sehingga mampu mampu membayar mahal karyawannya. Tapi hal ini juga akibat pungutan dari rakyat Jakarta yang semakin besar.

Sebenarnya, bagi pemimpin yang bijak, perlu dipikirkan keseimbangan kebahagiaan antara pelayan dan yang dilayani. Kalau pelayan PNS Pemprov DKI dibahagiakan dengan kenaikan gaji yang signifikan, maka beban kewajiban rakyat Jakarta yang dilayaninya juga seyogianya diringankan agar ikut bahagia. Yakni, dengan cara penghapusan PBB untuk rumah tinggal.

Seperti bisa disaksikan dua tahun terakhir ini, Kantor Pelayanan Pajak PBB di hampir seluruh kecamatan di Jakarta, selalu dipenuhi antre oleh para lanjut usia pensiunan swasta, PNS, tentara dan veteran untuk mengisi formulir permohonan keringanan PBB atas rumah tinggalnya. Keringanannya pun tak seberapa, kecuali kaum legiun veteran yang diringankan PBB-nya 70 persen.

Tidak jarang ada warga DKI yang menunggak PBB beberapa tahun karena tidak cukup penghasilan. Bahkan, ada yang terpaksa menjual rumahnya untuk pindah ke pinggiran kota, atau pulang ke daerah asal, karena tidak mampu lagi membayar PBB. (Anthon P Sinaga)***

CATEGORIES
TAGS