Penyesuaian Struktural, Apa Diperlukan?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

PEMERINTAH dibayang-bayangi kecemasan hasil kerjanya sendiri di bidang pengelolaan fiskal. Dengan subsidi yang dikelola berdasarkan semangat populis, pemerintah telah “terjerembab” ke dalam sirkulasi buah simalakama.

Membiarkan subsidi terus membesar demi pencitraan, pemerintah terperangkap sendiri oleh jebakan defisit anggaran yang semakin membengkak, karena menutup subsidi harus dibayar dengan cara berutang. Menghapus BBM subsidi takut rakyatnya marah, dan ketika pikiran ini menghantui, maka kegamangan dan kegalauan yang muncul, sehingga keputusan untuk menaikkan harga BBM tertunda lagi, menunggu APBN-P 2013.

Presiden SBY sendiri yang menyatakan bahwa tanpa pengurangan subsidi BBM, defisit anggaran akan bisa mencapai 3,8 dari PDB. Angka ini melewati ambang batas sebesar 3% yang diamanatkan dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Warning dari lembaga pemeringkat utang, seperti Standar d& Poor’s, agar pemerintah segera membenahi ekonomi dalam negeri dan “percepat reformasi struktural” adalah tepat, karena memang itu yang diperlukan dari sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Apa makna dari kalimat “percepat reformasi struktural” harus ada pemahaman yang sama antara pemerintah dan lembaga tinggi negara (MPR, DPD, DPR, dan MK). Opini ini cenderung berpandangan bahwa reformasi struktural sebaiknya tidak bersifat parsial, tapi harus bersifat menyeluruh. Oleh karena itu, harus menyentuh tiga isu kebijakan pokok, yaitu politik dan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Ketiganya saling berkaitan dan titik singgungnya juga sangat erat.

Jangan segan-segan melakukan kaji ulang atas berbagai kebijakan yang sudah diambil oleh negara di ketiga bidang itu. Membangun Indonesia menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa di dalam negeri, bukan dengan mengandalkan komponen bangsa lain. Kita menjadi betah tinggal di negeri sendiri, karena tatanan kehidupan yang dibangun memenuhi syarat-syarat yang tidak hanya bersifat normative, tetapi juga substantif untuk bisa hidup layak sebagai bangsa yang bermartabat dan beradab di seluruh pelosok tanah air.

Tanpa harus saling melemparkan kesalahan satu sama lain, yang jelas perubahan yang sangat mendasar dalam mengelola tatanan hidup berbangsa dan bernegara di republik ini tetap harus dilakukan bersama-sama. Sekat-sekat kelembagaan dan aturan main secara menyeluruh harus dapat ditelaah kembali. Ada indikasi kuat bahwa sekat-sekat kelembagaan itu lahir dari sebuah proses legislasi nasional yang konsepsi dasarnya tidak dirancang dengan baik. Artinya, tidak didukung oleh sebuah grand design yang memadai sesuai kebutuhan yang diperlukan untuk membangun masa depan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang demokratis.

Arogansi sektoral tercipta akibat adanya sistem tersebut. Kelembagaan pemerintah di pusat dan daerah, dari segi jumlah makin bertambah dan dia lahir adakalanya tidak memiliki masa depan yang jelas, karena secara normatif dia harus lahir, termasuk dalam hal ini soal pemekaran wilayah. Rentetannya tentu berdampak pada membengkaknya beban fiskal negara yang tidak kecil. Output kerja lembaganya tidak optimal, tapi menggunakan APBN/APBD tidak sedikit.

Utang Pemerintah

Penggunaan dana APBN/APBD yang bersifat ganda atau sering disebut tumpang-tindih terjadi di hampir seluruh kementerian/lembaga. Utang pemerintah akhirnya hanya habis dipakai untuk menutup belanja rutin dan belanja subsidi, dan tidak punya energi untuk membangun kebutuhan dasar yang paling fundamental bagi pembangunan, yaitu infrastruktur. Faktanya sudah seperti itu adanya. Secara normatif pemerintah maupun DPR boleh saja mengatakan bahwa mereka telah bekerja secara maksimal, tapi data dan faktanya sudah terbaca secara luas, baik yang diolah oleh BPS maupun lembaga pengkajian di dalam maupun luar negeri.

Langkah kita ke depan, tidak ada pilihan lain, kita tidak perlu lagi membuang waktu dan bersilat lidah untuk saling beragumentasi mencari pembenaran masing-masing, dan saling mengklaim kalau ada yang bersifat positif adalah berkat upayanya dan jika ada yang bernilai negatif, maka spontan akan dijawab bahwa hal itu terjadi karena faktor eksternal. NKRI tidak bisa di-remote dari Jakarta meskipun sudah masuk zaman era digital. Karena itu, reformasi struktural harus juga menjangkau isu kebijakan polkam dan sosial budaya.

Angka sebagai sebuah resultante kerja adalah penting, tetapi kalau di balik angka-angka itu masih ada sejumlah fakta lain yang dianggap masih menjadi beban negara di berbagai bidang, maka fakta tadi tidak boleh disembunyikan. Disharmoni sosial yang mengancam kohesi sosial adalah potret Indonesia hari ini. Ketimpangan sosial yang melahirkan konflik sosial di berbagai daerah adalah potret Indonesia yang lain. Semuanya secara kasatmata sudah kita saksikan di negeri ini, dan bahkan disaksikan oleh manusia sejagat di belahan dunia yang lain.

Reformasi struktural yang seperti itu konsep dasarnya tidak akan bisa diselesaikan oleh rezim yang berkuasa sekarang. Mau tidak mau akan menjadi beban tugas rezim yang berkuasa ke depan. Kebutuhannya sangat mendesak dan reformasi struktural itu diperlukan untuk penyelamatan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sehat dan konstitusional.

Catatannya adalah reformasi struktural yang harus dilakukan, bukan menggunakan resep IMF, yang selama ini dikenal dengan Structural Adjustment Program (SAP) di bidang ekonomi. Salah satunya adalah pengetatan fiskal dan penghapusan subsidi. Warning-nya Standard & Poor’s ada di wilayah itu. Tidak ada lembaga survei yang independen di dunia ini, dan laporan S&P tersebut kita pakai sebagai salah satu referensi. Reformasi struktural yang harus kita lakukan harus sesuai keinginan dan kebutuhan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat. Oleh sebab itu, landasan utama untuk melakukan reformasi struktural harus kembali kepada Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. ***

CATEGORIES
TAGS