Peringatan Keras Buat Para Hakim

Loading

Akil-Mochtar-Berantas-Korup

PERISTIWA aib yang dilakukan Akil Mochtar (AM) jadikan sebagai peringatan keras buat para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) yang merasa dirinya masih aman. Sebab publik sudah mengetahui ketika Mahfud MD Ketua MK periode 2008-2013 itu mengatakan betapa sejahtera kehidupan keluarga para hakim konstitusi telah berpenghasilan melebihi Rp 100 juta setiap bulan.

Namun yang menjadi pertanyaan kenapa masih saja ada yang berperilaku tidak terpuji bahkan korupsi..? Padahal angka tersebut sudah melebihi dari cukup untuk membiayai kehidupan layak setiap hakim konstitusi sekaligus membahagiakan keluarganya. Jawaban: Hanya Karena Serakah.

Bisa dibayangkan betapa nyaman ketika gaji pokok seorang hakim konstitusi mencapai Rp 28 juta per-bulan. Angka tersebut belum termasuk tunjangan keluarga, tunjangan kebutuhan rumah tangga dan tunjangan transportasi. Gaji plus tunjangan itu seluruhnya kira-kira Rp 60 juta.

Diluar gaji penghasilan masih dapat diperoleh dari setiap menangani satu perkara, seorang hakim konstitusi juga dibayar Rp 5 juta. Biaya itu untuk penanganan perkara mulai dari pemeriksaan hingga vonis.

Dalam catatan tubasmedia.com, setiap bulan perkara yang masuk di MK mencapai 10 perkara. Itu artinya tidak kurang dari Rp 50 juta adalah penghasilan tambahan seorang hakim MK dari menangani perkara saja. Maka jika seorang hakim konstitusi tidak serakah tentu saja penghasilan sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya bersama keluarga.

Namun bila seorang pejabat berpenghasilan Rp 100 juta per-bulan masih juga korupsi itu berarti karakter manusia yang tidak pernah bersyukur sehingga kebahagiaan tidak akan pernah dirasakan karena tetap saja merasa kurang. Padahal, bagi seorang pejabat tinggi yang pola hidupnya bersahaja, sangat menikmati dengan penghasilan Rp 100 juta per-bulan.

Itu artinya kalau hakim konstitusi bersahaja itu mau, bisa saja membelanjakan Rp 1 juta setiap hari sehingga untuk setiap bulannya menghabiskan Rp 30 juta. Dan kenyamanan hidup masih tetap dinikmati atas sisa yang dibelanjakan masuk tabungan Rp 70 juta setiap bulan.

Tetapi apa kata pejabat dan hakim konstitusi yang memuja hedonisme, maka Rp 100 juta per-bulan bukanlah sebuah kemewahan. Baginya seratus juta adalah jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan iming-iming uang miliaran rupiah atas godaan surga dunia dari para penggoda iman di kehidupan pejabat hedonisme tersebut. Sebab seratus juta kurang membahagiakan jika belum bisa membeli mobil Ferari.

Seratus juta tetap saja kurang jika belum punya rumah mewah berderet-deret. Seratus juta sangatlah tidak cukup bila untuk membahagiakan sejumlah isteri gelap dan kekasih gelap. Seratus juta juga sangat minim bila untuk mengejar kemewahan tujuh turunan anak-cucu pejabat bersangkutan. Padahal tidak disadari kesenangan atas nilai-nilai kebendaan yang berasal dari yang bukan hak dan tidak halal hanya sekedar sesaat kebahagiaan semu. Kebahagiaan permanen hanya dapat diraih dengan cara mensyukuri.

Bila kebahagiaan itu sulit diraih, itu satu kenyataan bahwa pejabat tersebut sulit mendapatkan ketenangan lahir dan bathin dalam keluarga karena tetap saja merasa kurang. Uang tidak diperlukan untuk membeli satu kebutuhan jiwa.

Para pejabat seharusnya paham bahwa uang sering menimbulkan risiko yang terlalu mahal nilainya karena harus mengorbanan harga diri sebagai sebuah nilai. Karena banyaknya godaan itu sebaiknya para pejabat harus sadar bahwa uang pasti diperlukan tapi uang bukalah segala-galanya sehingga tidak perlu terjebak sehingga melacurkan harkat dan martabat.

Uang berharga jika kepemilikannya atas hak dan halal bersama dengan kasih sayang menjadi sumber sukacita manusia terbesar. Namun jika sebaliknya yang terjadi adalah bersama dengan kematian, menjadi sumber kecemasan terbesar atas keabadian hina yang melekat sepanjang masa di pundak isteri dan anak-cucu yang ditinggal sang koruptor.

Mulai sekarang pejabat yang masih kurang puas dengan gajinya harus sadar atas komitmennya semula, bertugas hanya untuk negara dan bangsa. Dunia birokrasi adalah wadah pengabdian untuk melayani bukan untuk mencari harta dan kekayaan. Ingin kaya dan hartawan temukan di dunia usaha, bukan di arena birokrasi pemerintahan lebih-lebih di lembaga penegak hukum seperti di MK.

Para pejabat harus sadar bahwa uang dan kebahagiaan tidak selalu identik. Penghasilan Rp 100 juta oer-bulan adalah merupakan kebahagiaan yang sangat melimpah. Bila kita yakin kebahagiaan utama dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai.

Uang ratusan miliar tentu tidak membahagiakan kalau harus berpindah mukim ke hotel prodeo alias penjara, sama saja telah menggadaikan kebahagiaan keluarga ke ruang sel.

Mengagetkan ratusan rakyat Indonesia telah dipecundangi oleh perilaku hina yang diperagakan Ketua MK, DR. Akil Mochtar SH MH. Dipercaya sebagai pengguna mobil RI-9 (Presiden RI-1) dengan rumah dinas komplit segala fasilitas atas biaya negara, ternyata tidak dijadikan amanah. Pada Rabu (2/10) malam itu juga Akil dijebloskan ke sel tahanan KPK terkait tangkap tangan kejahatan suap sebesar 284.040 dolar Singapura dan 22.000 dolar AS terkait kasus penyelesaian sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalteng dan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak Banteng sebesar Rp 1 miliar.

Pasti Akil Mochtar tidak bahagia. Sayangnya penyesalan selalu datang terlambat. Nasi sudah menjadi bubur dan harus pula menghabiskan bubur itu seumur hidup di penjara sebagaimana vonis hakim agung di tingkat kasasi Mahkamah Agung, menghukumnya seumur hidup. *marto tobing

CATEGORIES
TAGS