Pidana Mati Pengembangan Teori Absolute

Loading

Danu Ariyanto Sebayang SH, MH

Danu Ariyanto Sebayang SH, MH

PERDEBATAN tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritik pidana mati adalah pengembangan teori absolute dalam ilmu hukum pidana.Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan.

Namun dari hasil kajian praktisi hukum Danu Ariyanto Sebayang SH, MH mengisyaratkan, dalam perkembangannya teori absolute dalam ilmu hukum pidana dimaksudkan itu telah mengalami perubahan yang signifikan.
Dijelaskan pakar hukum asal Kabupaten Tanah Karo Sumatera Utara ini bahwa, pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima ditengah komunitas masyarakat.

Lalu bagaimana dengan pidana mati itu sendiri?

Dalam suatu percakapan lepas bersama Tubasmedia.com di ruang kerjanya Kantor Advokat “Danu Sebayang & Associates” di Jalan Tebet Barat V Jakarta Selatan, Selasa (24/3/15) mengatakan, benar bahwa kontroversi pidana mati di Indonesia semakin mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden (Keppres) di Tahun 2003 yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan.

Menurut Danu, terjadi dua mainstream wacana yang berhadap-hadapan dalam perdebatan tersebut yakni antara yang setuju terhadap pidana mati dan pada pihak lain yang tidak setuju terhadap pidana mati. Pihak yang setuju beragumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum positif Indonesia. Sedangkan pihak yang tidak setuju menyatakan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) dengan mengacu kepada UUD-45

Pasal 28 A pada perubahan kedua yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right).

Dijelaskan Danu bahwa, dari perspektif internasional ketentuan mengenai HAM yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life).

Dikatakan, pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang sangat serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tidakbertentangan dengan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. “Pidana tersebut hanya dapat dilaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompeten,” kata Danu.

Pengacara senior ini pun mempertanyakan, Jika menggunakan pemidanaan mati untuk menimbulkan efek jera apakah betul dapat dikurangi angka kejahatan? “Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara pidana mati dan penurunan angka kejahatan,” katanya.

Namun dibenarkan Danu, dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati yakni UU No.7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana ekonomi, UU No.22 Tahun 1997 tentang tidak pidana narkotika dan Psikotropika, UU No.31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Tipikor, UU No.26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana terhadap HAM dan Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang. *marto tobing

CATEGORIES
TAGS