Primary Policy

Loading

ekspansi-

Oleh: Fauzi Aziz

 

ISU ini bukan barang baru. Dan bukan pula soal isu perlunya penggabungan antara BKPM, Perindustrian dan Perdagangan. Isu ini murni soal arus utama yang perlu difahami bersama bahwa investasi, industri dan perdagangan berada dalam satu kerangka kebijakan yang oleh Kotler disebut sebagai primary policy.

Rasanya benar bahwa membangun portofolio ekonomi Indonesia  memerlukan  satu legal frame work yang mengatur tatanan kehidupan ekonomi dalam satu struktur pembinaan dan pengembangan sektor riil yang selaras.

Menjadi negara industri di dalamnya pasti ada kaitan langsung dengan kegiatan investasi dan soal rezim perdagangan yang dianut. Ketiganya adalah pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Kemajuan ekonomi Indonesia dan perubahan struktur ekonominya akan terjadi bila industrialisasi  berjalan.

Keputusan politik untuk melaksanakan industrialisasi sudah lama ada dari rezim ke rezim. Secara politik ekonomi agar Indonesia menjadi negara industri majupun sudah lama bergaung hingga kini. Hanya saja manajemen kebijakannya belum berjalan dengan baik. Penyebabnya kerangka kebijakannya dikembangkan atas dasar pendekatan administrasi publik, dimana sektor-sektor ekonomi tersekat-sekat dalam sistem administrasi pemerintahan yang basis utamanya pembagian kewenangan administratif.

Dampak dari sistem administrasi publik seperti itu, menjadi sulit untuk melakukan konsolidasi kebijakan investasi, industri dan perdagangan. Padahal ketiganya merupakan bagian inti dari primary policy untuk menggerakkan ekonomi nasional.

Di sisi lain, utamanya di sektor tradable juga menjadi “korban” penataan masing-masing sub sektor yang secara administratif menjadi tanggungjawab beberapa kementrian/lembaga.

Secara administrasi publik, hal yang demikian tidak salah. Tetapi secara strategis bisa menjadi masalah sebagai akibat masing-masing menelorkan kebijakan sendiri-sendiri.

Dampak dari situasi ini menimbulkan masalah kepincangan antar sektor seperti yang terjadi antara sektor pertanian dan industri. Kaitan kedepan dan kebelakang nyaris tidak terjadi karena misi yang diemban berbeda.

Seharusnya dalam strategi pertumbuhan yang seimbang antara sektor pertanian dan industri memiliki keterkaitan yang kuat sebagai satu kesatuan sistem ekonomi tradable agar tidak terjadi kekosongan dalam struktur industri yang terbentuk, maupun secara permanen menyebabkan ketergantungan impor bahan baku tetap tinggi yang memboroskan penggunaan cadangan devisa akibat keterkaitannya lemah.

Catatan semacam ini sebenarnya sudah sering dikemukakan dan para pemangku kepentingan sangat memahami bahwa kekuatan suatu kelompok industri akan bisa terjadi bilamana dalam satu proses value chain terjadi memiliki kaitan-kaitan baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Dalam hal hubungan antara investasi, industri dan perdagangan pola interaksinya lebih bersifat horizontal. Namun dalam hal keterkaitan antara sektor pertanian dan industri lebih banyak terjadi dalam sistem keterkaitan yang sifatnya vertikal.

Kaidah semacam itu memang harus ditegakkan kalau keputusan politik ekonominya sudah mengarahkan negeri ini untuk menjadi negara industri maju di masa depan.

Dalam sistem ekonomi tradable berarti bahwa secara strategik untuk mewujudkan industri yang maju, perlu didukung oleh sektor pertanian yang tangguh dan sektor pertambangan dan bahan galian yang kuat.

Proses ini perlu ditempuh dengan tujuan mengerahkan dan membentuk kemampuan  sumber-sumber daya nasional  yang terbatas, tetapi produktif mencapai keunggulan ekonomi.

Melihat fenomenya yang semacam itu, disiplin dalam penyelenggaraan kebijakan harus ditegakkan. Dan satu hal yang paling diperlukan adalah adanya kepemimpinan dan tata kelola yang baik untuk membenahi aspek kebijakan,  baik pada level primary policy (investasi,industri dan perdagangan), maupun menata pola kebijakan di sektor tradable-nya.

Selama masih tersekat-sekat dalam perspektif administrasi publik yang cenderung makin menguatkan arogansi sektoral, mewujudkan keunggulan ekonomi yang berbasiskan pada penguatan struktur ekonomi produktif tantangan internalnya akan makin berat.

Menciptakan keseimbangan pertumbuhan sektor produksi dan jasa akan makin sulit dicapai jika kebijakan di sektor tradable tidak berhasil dibenahi. Pertumbuhan sektor tradable akan makin tertinggal jauh dari sektor jasa kalau fragmentasi kebijakannya tidak segera dibenahi.

Komposisinya selama ini sangat jomplang, dimana pertumbuhan sektor tradable tiap tahun hanya tumbuh rata-rata 4%, sementara sektor jasa dapat tumbuh rata-rata 7% per tahun.

Struktur pertumbuhan ini tidak sehat karena Indonesia masih menghadapi masalah ketimpangan dalam tiga dimensi, yakni kesenjangan dalam kelompok pendapatan, ketimpangan sektoral dan kesenjangan antar wilayah.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).***

CATEGORIES
TAGS